INDOPOSCO.ID – Di tengah melambatnya daya beli masyarakat, ekonomi syariah dinilai menjadi salah satu pendorong baru bagi ketahanan ekonomi nasional.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Sutan Emir Hidayat dalam kunjungannya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Kamis (4/11/2025).
Menurut Emir, kondisi ekonomi yang menantang justru harus dijawab dengan kreativitas dan inovasi berbasis prinsip syariah. Salah satu peluang besar, kata dia, terletak pada pemanfaatan Dana Sosial Syariah (DSS) seperti zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.
“Dalam menghadapi perekonomian yang bisa dikatakan sedang susah, tentunya kita harus kreatif. Contohnya bisa dilihat dari peran Dana Sosial Syariah,” ujar Emir.
“Dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sudah jelas dicantumkan bahwa kontribusi zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya akan didorong tumbuh dari 0,16 persen per PDB (Produk Domestik Bruto) di tahun 2024 menjadi 0,208 persen di tahun 2029,” sambungnya.
Emir menegaskan, pengembangan dana keagamaan ini bukan hanya soal filantropi, tetapi juga strategi memperkuat sektor usaha mikro dan ultra mikro (UMi) agar memiliki akses terhadap pembiayaan dan pendampingan usaha. Dengan begitu, kelompok masyarakat yang sebelumnya kesulitan memperoleh pembiayaan komersial dapat tetap produktif.
Salah satu contoh nyata, lanjut Emir, adalah program Z-Chicken yang diinisiasi oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Program ini memberikan modal usaha berbasis zakat kepada penerima manfaat (mustahik) untuk mengembangkan usaha ayam goreng siap saji. Melalui pendampingan intensif, penerima program didorong agar bisa mandiri secara ekonomi.
“Tujuan akhirnya bukan hanya membantu, tetapi mengubah status mereka, dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (pemberi zakat). Inilah esensi pemberdayaan sosial ekonomi yang berkelanjutan,” jelas Emir.
Selain memperkuat ekonomi domestik, KNEKS juga mendorong perluasan pasar luar negeri untuk produk halal Indonesia. Emir menilai, ekspor halal tidak boleh hanya bertumpu pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat atau Tiongkok.
“Kita harus membuka pasar-pasar baru, khususnya ke negara-negara anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Pemerintah sudah mulai mendorong hal ini melalui berbagai perjanjian kerja sama, seperti CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) dengan Uni Emirat Arab (UEA),” ungkapnya.
Lebih jauh, Emir menyebut pembukaan pasar ekspor halal ke UEA diharapkan menjadi pintu masuk ke negara-negara Timur Tengah lainnya seperti Bahrain, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, dan Oman. Langkah ini diyakini akan memperluas peluang ekspor produk halal nasional dan meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
“Bersamaan dengan terbukanya pasar baru itu, secara paralel kita juga mendorong peningkatan daya saing industri halal. Selain itu, sektor pariwisata ramah muslim (Muslim Friendly Tourism) juga kita genjot dari 11,93 persen menjadi 13,08 persen,” jelasnya.
Emir menambahkan, pertumbuhan industri halal bukan hanya tentang wisatawan, tetapi juga seluruh ekosistem pendukungnya, mulai dari sektor hospitality, transportasi, hingga usaha lokal seperti kuliner halal, penginapan, dan produk oleh-oleh khas daerah.
Pada akhirnya, ia menegaskan bahwa penguatan ekosistem ekonomi syariah harus dipandang sebagai gerakan kolektif menuju kemandirian dan keadilan ekonomi nasional.
“Ini bukan semata tentang keuangan syariah, tetapi tentang bagaimana nilai-nilai Islam dapat mendorong ekonomi yang inklusif, memberdayakan, dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat,” tambahnya.
Jika dikelola secara inklusif, Dana Sosial Syariah dapat menjadi bukti nyata bahwa nilai-nilai keislaman mampu menghadirkan solusi ekonomi yang humanis dan menyejahterakan. (her)









