INDOPOSCO.ID – Upaya mendorong reformasi Kepolisian dinilai tidak bisa berdiri sendiri. Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, langkah tersebut harus diiringi dengan pembenahan menyeluruh di sektor penegakan hukum dan pertahanan negara.
“Reformasi kepolisian, oke. Tapi reformasi kelembagaan negara yang lain juga penting dilakukan, terutama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kejaksaan,” ujar Halili melalui gawai, Minggu (26/10/2025).
Dia menekankan, reformasi lembaga hukum seperti Kejaksaan dan peradilan militer menjadi hal mendesak. Hingga kini, kedua institusi itu masih beroperasi dengan payung hukum yang diwarisi dari masa Orde Baru.
“Kalau kita sungguh-sungguh ingin melakukan reformasi sektor keamanan, maka reformasi peradilan militer wajib jadi agenda. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana seharusnya diadili di peradilan sipil,” tegasnya.
Lebih jauh, Halili menilai secara kelembagaan, posisi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sudah cukup ideal. Kedudukan Polri di bawah Presiden dianggap sejalan dengan semangat supremasi sipil yang menjadi fondasi reformasi 1998.
“Polisi di bawah Presiden itu ideal. Itu menegaskan supremasi sipil, bukan militer. Dalam sistem demokrasi, sektor keamanan harus dikontrol oleh aparatur sipil, bukan kekuatan militer,” katanya.
Namun demikian, Halili menilai tantangan utama Polri bukan pada struktur kelembagaannya, melainkan pada budaya kerja dan profesionalitas aparat di lapangan. Menurutnya, rendahnya kepercayaan publik terhadap Polri lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kultural ketimbang struktural.
“Public distrust hari ini lebih banyak berkaitan dengan aspek kultural dibanding kelembagaan. Jadi kalau yang direformasi justru kelembagaannya, itu tidak nyambung,” ujarnya.
Selain persoalan budaya, Halili juga menyoroti perlunya peningkatan standar profesionalisme dan pelayanan publik.
Ia mencontohkan, Polri perlu memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) yang tegas dan terukur dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.
“Kalau Polri punya SOP yang pasti, misalnya laporan masyarakat harus direspons dalam dua minggu, publik akan merasa dilayani. Ini seperti layanan perbankan yang cepat dan akuntabel,” tutur Halili.
Menanggapi kekhawatiran publik bahwa reformasi Polri akan menjadikan lembaga tersebut terlalu kuat atau bahkan menjadi “superbody”, Halili menilai anggapan itu tidak tepat. Menurutnya, reformasi seharusnya dipahami sebagai proses memperkuat profesionalitas dan akuntabilitas, bukan memperluas kekuasaan lembaga.
“Tidak perlu ada ketakutan seolah-olah Polri akan jadi superbody. Justru reformasi ini harus diarahkan untuk memperkuat supremasi sipil,” tutupnya. (her)









