Kasus Dugaan Korupsi, Tiga Anggota DPRD OKU Diberhentikan Sementara

INDOPOSCO.ID – Tiga legislator dari DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, dihentikan sementara dari tugas mereka karena terlibat dalam dugaan korupsi terkait pokok pikiran (pokir) dalam pembahasan Rancangan APBD OKU 2025.

Ketiga anggota dewan tersebut, yaitu Ferlan Juliansyah, M. Fahrudin, dan Umi Hartati, saat ini menunggu proses penggantian antar waktu (PAW) yang akan diajukan oleh partai pengusung mereka.

Ketua DPC PPP OKU, Aryo Dillah, menyampaikan dari Baturaja pada Minggu (12/10/2025) bahwa pihaknya telah menerima Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 687/KPTS/I/2025, yang memberhentikan sementara Umi Hartati sebagai anggota DPRD periode 2024-2029.

“Kami masih menunggu keputusan lanjutan dari DPP PPP untuk pengesahan SK tersebut oleh Kemenkumham setelah Muktamar X,” jelasnya.

Hal serupa juga dikemukakan Ketua DPC Partai Hanura OKU, Joni Awalludin, yang membenarkan bahwa surat keputusan tersebut sudah diterima dan sedang diproses.

“Kami tengah menanti arahan partai terkait pelaksanaan PAW terhadap M. Fahrudin,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua DPC PDI Perjuangan OKU, Fahlevi Maizano, mengaku belum menerima surat pemberhentian sementara secara fisik karena sedang berada di luar kota, namun memastikan bahwa jika SK resmi turun, proses PAW akan segera dijalankan.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga anggota DPRD OKU sebagai tersangka dalam kasus fee proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) OKU.

Ketiganya, yang merupakan anggota Komisi III dan II DPRD OKU, kini tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Palembang.

Selain itu, KPK juga menetapkan Kepala Dinas PUPR OKU dan dua pelaku dari kalangan swasta sebagai tersangka.

Kasus ini bermula dari permintaan jatah pokir oleh para anggota DPRD yang kemudian disepakati dialihkan menjadi proyek fisik di Dinas PUPR dengan nilai awal sekitar Rp40 miliar.

Namun karena keterbatasan anggaran, nilai proyek dikurangi menjadi Rp35 miliar, sementara fee proyek tetap 20 persen atau senilai Rp7 miliar.

Akibatnya, anggaran Dinas PUPR membengkak dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar, diduga karena adanya kompromi politik terkait pembagian jatah proyek tersebut seperti dilansir Antara.

Dalam operasi tangkap tangan pada Sabtu, 15 Maret, KPK mengamankan uang tunai sebesar Rp2,6 miliar yang menjadi barang bukti dalam perkara ini. (aro)

Exit mobile version