Nasional

Melawan Intoleransi dan Radikalisme Lewat Jalan Pendidikan, Begini Kata Akademisi

INDOPOSCO.ID – Dengan keberagaman suku, agama, ras, dan golongan penduduknya, Indonesia masih dibayangi berbagai masalah sosial yang mengancam kerukunan dan persatuan-kesatuan bangsa. Ancaman itu terutama datang dari kasus intoleransi.

Merujuk catatan Setara Institute, pada 2024 kasus intoleransi mengalami tren peningkatan dari tahun sebelumnya dengan adanya 260 peristiwa dan 402 tindakan. Sementara itu, meski pada 2023-2024 Indonesia nihil aksi terorisme, paham teror dan kekerasan ke pihak lain yang dinilai berbeda itu belum sepenuhnya hilang, melainkan berkembang di dunia maya.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melaporkan ada 2.264 akun media sosial menyebarkan lebih dari 10 ribu konten berbau aktivitas terorisme. Kendati sebagai lembaga pemerintah BNPT telah turun tangan, isu intoleransi, radikalisasi, dan terorisme ini belum sepenuhnya tuntas.

Guru Besar di Bidang Ilmu Keamanan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI) Prof Angel Damayanti menyatakan, perlu kolaborasi dari semua elemen untuk mengantisipasi persoalan-persoalan ini di kemudian hari. “Memecahkan masalah sosial-politik pemerintah tidak bisa sendiri. Semua pihak harus terlibat dalam menyelesaikan masalah-masalah, seperti intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Mulai dari pemerintah pusat, daerah, pihak swasta, hingga media dan akademisi juga tokoh masyarakat dan tokoh agama,” ujar Angel dalam keterangan, Rabu (15/10/2025).

Ia menegaskan, keterlibatan semua pihak diperlukan mengingat permasalahan sosial di Indonesia sangat kompleks. Untuk itu, sebagai seorang akademisi, ia pun turun ke lapangan untuk meneliti lebih dalam persoalan terorisme dan radikalisasi. “Talenta dan peran setiap pihak itu dibutuhkan sesuai kompetensi masing-masing. Sebagai akademisi, sesuai Tridharma Perguruan Tinggi, ini merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat,” ujarnya.

Pengajar Hubungan Internasional UKI ini melihat akar masalah telah berjalin kelindan antara faktor ekonomi, sosial-budaya, hingga politik. Berdasarkan riset tersebut, sejak 2011 ia menyiapkan kajian tentang potensi radikalisme dan risiko terorisme beserta kesiapan aparatur negara dan masyarakat dalam pencegahannya.

Ia pun memberi masukan kepada BNPT mengenai langkah-langkah yang harus disiapkan untuk mengantisipasi ancaman itu. Salah satu upayanya adalah memberi kesempatan pada semua pihak untuk berkembang, terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, kekerasan bukan menjadi jalan untuk memecahkan masalah seperti halnya ditempuh para pelaku teror.

“Saya melihat yang paling penting itu pendidikan. Melalui pendidikan, seseorang itu tercerahkan, bisa berpikir lebih luas dalam melihat masalah, dan tidak berpikir sempit. Cara dia menyelesaikan masalahnya pun juga lebih luas,” jelasnya.

Menurutnya, pendidikan membuka jalan untuk mengatasi persoalan-persoalan lain, seperti isu lapangan kerja, kesejahteraan, dan peningkatan ekonomi. “Dengan satu masalah diselesaikan, maka masalah yang lain juga bisa terselesaikan. Pendidikan, termasuk adanya penanaman nilai-nilai, moral, juga penguatan karakter, menjadi kunci,” terangnya.

Perhatian Angel pada isu toleransi tak lepas dari latar belakang pribadinya. Lahir dari keluarga majemuk, mendiang ayahnya adalah seorang muslim moderat berdarah Betawi-Sunda. Sementara sang ibu merupakan keturunan Tionghoa dari Palembang beragama Kristen. Menyusul jejak sang kakek, ibundanya menjadi seorang pendeta yang kemudian aktif di Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).

“Keluarga kami saling menghormati. Bahkan saya diizinkan untuk memilih agama saya. Yang penting dijalankan dengan sebaik-baiknya. Lebaran saya ikut merayakan. Natalan dan Imlek Cap Go Meh saya juga ikut. Sesuatu yang membuat saya berpikir inilah masyarakat Indonesia,” tuturnya.

Namun, ia terenyak saat Indonesia mulai sering diguncang aksi intoleran dan terorisme. Mulai dari Bom Bali, bom Natal, dan berbagai teror yang menyasar rumah ibadah. “Saya ingin mempelajari ada apa dengan masyarakat Indonesia. Katanya Bhinneka Tunggal Ika, tapi kok tidak bisa menerima agama yang berbeda. Saya juga melihat ternyata fenomena ini enggak hanya terjadi di Indonesia, tapi terjadi di banyak negara,” jelasnya.

Dia sempat hendak mengambil studi kedokteran. Namun karena keterbatasan biaya, ia memutuskan untuk mengambil studi hubungan internasional di UKI. Sempat bekerja di sebuah bank, karena prestasi cemerlangnya Angel dipanggil oleh pihak kampus yang menawarinya menjadi dosen.

Berkat prestasinya pula, ia meraih beasiswa S2 Hubungan Internasional di Universitas Indonesia (UI) dari Tanoto Foundation. Merasa kurang puas, Angel juga menempuh pendidikan S2 di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, di bidang kontraterorisme.

Tak hanya menyandang gelar master dari dua universitas, pendidikan doktoral juga ditempuh di dua kampus di dua negara, yakni di National University of Singapore dan Universiti Sains Malaysia. “Saya senang dan hobi belajar. Bahkan kalau masih ada yang menawari beasiswa hari ini saya ambil. Saya masih punya banyak tanda tanya tentang ilmu yang saya pelajari,” ujarnya.

Dahaga keilmuan mengantarkan Angel pada posisi tertinggi di universitasnya. Pada 2023, Angel dikukuhkan sebagai Guru Besar di Bidang Ilmu Keamanan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKI. “Dulu pernah pengen jadi guru. Sekarang malah bukan cuma jadi guru, tapi guru dengan tambahan besar di belakangnya,” ucapnya.

Angel merasa tak cukup jika hanya mengajar untuk mahasiswa-mahasiswanya. Untuk itu, tak hanya di ruang kelas, ia juga bergerak langsung di lapangan. Bersama sang ibunda, ia mengembangkan Yayasan Anugerah Bina Bangsa yang memberdayakan warga dan anak-anak di Desa Puro, Kupang, Nusa Tenggara Timur melalui pendirian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Dirintis sejak 2016, SMK tersebut memberi pendidikan di bidang pertanian dan peternakan. “Sekolahnya gratis. Kami juga menggalang dana untuk para guru. Kami sediakan juga makanan dan ada dukungan pengusaha yang membangun asrama,” paparnya.

Setelah lulus, mereka juga memperoleh beasiswa jika ingin menekuni pendidikan tinggi di bidang pertanian. Ia yakin layanan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat ini berujung pada kemandirian warga dan peningkatan kesejahteraan mereka. “Orang bisa mendapat pendidikan bagus, akan bisa kerja bagus. Dia bisa menghidupi keluarganya dan itu pasti ada snowball effect (efek bola salju),” ujarnya.

Angel mengaku tak pernah bermimpi untuk menjadi seperti dirinya saat ini. Menurut dia, jalan hidupnya telah diatur oleh Tuhan. “Cita-cita saya sederhana mau jadi guru, mau bikin orang pintar, cerdas, dan dengan kecerdasan dan kepintaran itu mereka bisa mandiri,” tuturnya.

Impian itu terwujud ketika dia memperoleh beasiswa Tanoto Foundation untuk melanjutkan S2 di UI.
Saat itu, ia juga sempat merasa minder. Maklum saja, kala itu, ia melihat beasiswa Tanoto Foundation hanya diperuntukkan bagi sejumlah universitas negeri dan ternama. “Saya merasa ini bisa dapat enggak ya karena pasti saingannya banyak dan pintar-pintar,” kenangnya.

Ternyata beasiswa studi master itu mampu diraih sehingga membuka wawasan dan kesempatan yang lebih luas. Sebab bukan hanya beasiswa untuk biaya pendidikan, Tanoto Foundation juga membekali para penerima beasiswa dengan soft skills dan inspirasi yang terus membekas dan berguna hingga kini.

Salah satu momen yang dikenang Angel adalah aktivitas Focus Group Discussion (FGD) berupa simulasi atau role play (bermain peran) untuk memecahkan masalah. Dari simulasi tersebut, Angel paham bahwa setiap orang memiliki profil dan karakter berbeda beserta kelebihan dan spesialisasinya masing-masing.

“Perspektif ini menjadi pedomannya dalam mengajar untuk memberi ruang bagi berbagai talenta anak didiknya. Aksi filantropi Tanoto Foundation dalam membagikan beasiswa juga mendorong Angel untuk mengembangkan Yayasan Anugerah Bina Bangsa,” ujarnya. (nas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button