Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah Kunci Jaga Kesehatan Mental Remaja

INDOPOSCO.ID– Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan kolaborasi antara orang tua dan sekolah merupakan kunci agar kesehatan mental remaja tetap berkualitas meski menghadapi banyak gejolak seperti pubertas maupun masalah dalam pergaulannya.
Anggota Satuan Tugas (Satgas) Remaja IDAI dr. Braghmandita Widya Indraswari, M.Sc, Sp.A, Subsp.T.K.P.S(K), mengatakan sekolah dan orang tua adalah dua faktor lingkungan paling dekat dan harus menjadi yang paling peka terhadap perubahan remaja sehingga bisa memastikan kesehatan mentalnya terjaga.
“Kolaborasi adalah hal yang penting, jadi kesehatan mental remaja itu bukan hanya menjadi tanggung jawab guru, atau bukan hanya menjadi tanggung jawab dari orang tua saja. Tetapi bisa tercipta lewat kolaborasi peran orang tua, guru, dan konselor jika memang ada peran konselor di sekolah,” katanya dalam seminar daring yang diikuti dari Jakarta, dilansir ANTARA, Selasa (19/8/2025).
Dokter yang berpraktik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta itu mengatakan dari sisi faktor orang tua atau keluarga, dalam mendampingi remaja agar kesehatan mentalnya terjaga perlu memastikan bahwa keluarga harus menjadi ruang yang aman bagi anak untuk berekspresi.
Salah satu cara membuat lingkungan keluarga menjadi ruang aman bagi remaja adalah dengan mengajarkan komunikasi yang terbuka dan membimbingnya mencerna beragam emosi baik itu yang sifatnya positif maupun negatif.
“Remaja tidak boleh takut, tidak boleh malu dengan orang tuanya. Sehingga harapannya anak bisa bercerita pada orang tua kalau dia punya masalah. Dia tahu harus kemana saat mencari pertolongan,” ujar dokter Braghmandita.
Selain itu, keluarga juga bisa memberi ruang aman bagi remaja lewat dukungan aktif berupa apresiasi dan motivasi sehingga rasa dihargai bisa tumbuh.
Ketika remaja mengalami masalah, maka nantinya keluarga menjadi tempat pertama untuk dirinya mencari solusi nyata dan bukan mendapatkan solusi fiktif yang dapat menjerumuskan bahkan berpotensi membuatnya mengalami masalah gangguan mental.
“Remaja ini karakteristiknya lebih percaya para peer group, padahal peer group-nya juga sama-sama remaja yang pola pemikirannya sama. Belum tentu mereka bisa memberikan solusi baik dan bahkan kadang memberikan solusi yang negatif,” katanya.
Selanjutnya, dalam menjaga kesehatan mental remaja peran sekolah perlu memastikan bahwa lingkungannya bersifat inklusif.
Para pendidik yang menjadi tuntunan remaja, harus bisa memastikan tidak ada tekanan yang berlebihan kepada perkembangan mental murid-muridnya.
Lingkungan juga harus bisa menjaga agar tidak ada perundungan maupun diskriminasi sehingga ke depannya remaja yang merupakan para siswa bisa meningkatkan rasa percaya diri dan belajar mengendalikan emosi lewat interaksi sosial dengan lingkungan sebayanya.
“Diharapkan sekolah juga bisa mendeteksi (apabila remaja mengalami gangguan kesehatan mental), karena waktu remaja ini juga sebagian besar ada di sekolah. Guru bisa sebagai pengamat pertama yang mendeteksi adanya perubahan berlaku dari siswanya,” kata Braghmandita.
Kesehatan mental pada remaja menjadi salah satu faktor penting dalam memastikan sebuah negara memiliki generasi penerus bangsa yang optimal. Namun, akhir-akhir ini masalah kesehatan mental di kalangan remaja semakin meningkat.
Secara global misalnya, data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan 1 di antara 7 anak berusia 10-19 tahun atau remaja mengalami masalah kesehatan mental.
Sementara secara nasional, sebuah survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) pada 2022 menunjukkan sebanyak 15.5 juta atau sekitar 34.9 persen remaja mengalami masalah kesehatan mental.
Maka dari itu, penting agar semua faktor yang menjaga kesehatan mental remaja bisa terlibat aktif agar masalah ini tidak menjadi masalah berlarut terutama dalam memastikan pembentukan sumber daya manusia (SDM) berkualitas di masa depan. (dam)