INDOPOSCO.ID – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap 2 Mei menjadi momentum refleksi kritis terhadap arah pendidikan di Indonesia. Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, soft skills atau life skills seperti kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas, dan pemecahan masalah menjadi kunci bagi siswa dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan.
Cucu Ki Hadjar Dewantara yang juga pakar pendidikan Antarina SF Amir menyebut ada delapan pilar penting life skills yang perlu dibentuk melalui proses pembelajaran dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan dasar menengah (SD, SMP, dan SMA).
“Fondasi pendidikan yang kokoh harus diletakkan sejak usia dini hingga sekolah menengah atas. Ini mencakup pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi, serta, berkolaborasi,” ujar Antarina dalam keterangan, Kamis (1/5/2025).
Keterampilan-keterampilan dasar ini, lanjutnya, akan menjadi landasan bagi siswa untuk belajar secara mandiri, bekerja sama dengan orang lain, serta memahami dan mengolah informasi di berbagai bidang ilmu.
Dia juga menyampaikan, Gen Z yang tumbuh di era digital (digital native) seringkali dianggap sebagai generasi yang melek teknologi. “Namun, minimnya kemampuan Meta Level Reflection dan Expert Thinking dapat menghambat literasi digital mereka yang sebenarnya,” jelasnya.
“Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan perangkat dan aplikasi, tetapi juga tentang kemampuan untuk mengevaluasi informasi secara kritis, memahami implikasi etis dari teknologi, serta menggunakan teknologi secara bertanggung jawab dan produktif,” sambung Antarina.
Jika Gen Z tidak memiliki kemampuan Meta Level Reflection dan Expert Thinking yang kuat, menurutnya, mereka mungkin menjadi konsumen pasif teknologi, mudah terpengaruh oleh disinformasi, dan kurang mampu memanfaatkan teknologi untuk inovasi dan pemecahan masalah.
Ia menekankan bahwa pendidikan harus berfokus pada pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia saat ini. “Keterampilan hidup bukan hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga mencakup soft skills yang sangat penting dalam interaksi sosial,” ujarnya.
“Kita perlu membekali siswa dengan keterampilan yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dan berinovasi dalam menghadapi tantangan yang terus berubah,” imbuhnya.
Selain skill atau kompetensi, masih ujar dia, dalam konteks dunia yang semakin kompleks dan terhubung, pengembangan kemampuan empati sosial (empathetic social skills) dan kepemimpinan etis (ethical leadership) sangat penting. Kemampuan empati sosial memungkinkan individu untuk memahami dan merasakan perspektif orang lain, membangun hubungan yang positif, dan berkontribusi pada masyarakat secara konstruktif.
Sementara itu, kepemimpinan etis membekali individu dengan kemampuan untuk memimpin dengan integritas, tanggung jawab, dan moralitas. “Pendidikan harus mampu mengembangkan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan moral yang tinggi,” tegasnya.
Hal ini, menurutnya, relevan dengan tantangan-tantangan global seperti disinformasi, intoleransi, dan krisis kemanusiaan. “Pendidikan karakter adalah tentang membentuk individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga memiliki nilai-nilai yang kuat dan ketika kita mengajarkan karakter, kita tidak hanya membentuk individu, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih baik,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pendidikan karakter tidak terbatas pada mata pelajaran tertentu, melainkan dapat diintegrasikan ke dalam seluruh kurikulum dan kegiatan sekolah. Dia mencontohkan penguatan karakter dan nilai dapat dilakukan melalui berbagai cara, termasuk kegiatan ekstrakurikuler, proyek kolaboratif, dan interaksi sehari-hari di sekolah.
“Misal saat proses anak-anak makan bersama, dalam kegiatan itu dalam diselipkan penguatan karakter, nilai, norma sosial, dan kesadaran akan lingkungan,” jelasnya.
Dengan demikian, pendidikan karakter menjadi bagian menyeluruh dalam proses pembelajaran tanpa harus terkotak-kotak dalam mata pelajaran tertentu saja. Pendekatan ini memungkinkan siswa menginternalisasi nilai-nilai tersebut dalam pengalaman nyata dan interaksi sosial positif.
Antarina mengangkat salah satu filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang mendalam dan relevan hingga kini yaitu Niteni (mengamati), Nirokke (meniru), dan Nambahi (mengembangkan). Filosofi 3N Ki Hadjar Dewantara ini menggambarkan proses belajar yang dinamis dan berkelanjutan. “Filosofi ini menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga pengembangan kreativitas, inovasi, dan kemampuan berpikir kritis,” jelasnya.
“Siswa tidak hanya diharapkan untuk menerima informasi, tetapi juga untuk mengolahnya, mengembangkannya, dan menciptakan pengetahuan baru,” imbuhnya.
Dia menambahkan filosofi 3N Ki Hajar Dewantara sangat relevan di dalam dunia yang penuh dengan informasi dan perubahan cepat, kemampuan untuk mengamati, belajar dari contoh, dan berinovasi menjadi semakin penting. (nas)