INDOPOSCO.ID – Pakar neurosains Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Sabiqotul Husna menyebut mahasiswa menjadi kelompok dengan tekanan mental tertinggi karena tuntutan akademik, sosial, dan keluarga tanpa diimbangi kesehatan fisik dan mental.
“Kalau kita lihat, salah satu kelompok yang pressurenya paling tinggi itu mahasiswa. Pressure dari mungkin akademik, lingkungan pertemanan, lingkungan keluarga,” ujar Sabiqotul Husna dalam diskusi bertajuk “Speak Up for Mental Health: Mengenali Tanda, Menghapus Stigma” di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, kesehatan mental dan fisik bersifat saling memengaruhi atau resiprokal, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan dalam menjaga kesejahteraan individu.
“Dua kesehatan itu tidak bisa terpisahkan. Artinya, suatu ketika orang bisa terdampak kesehatan fisiknya jika dalam durasi waktu yang panjang dia telah mengalami kondisi mental yang tidak baik,” jelasnya.
Sabiqotul menilai pemahaman mengenai produktivitas yang kerap keliru di kalangan mahasiswa juga perlu diluruskan.
Ia menegaskan bahwa produktivitas bukan berarti bekerja tanpa henti atau mengabaikan waktu istirahat.
“Apakah kerja seperti kuda setiap hari itu produktif? Kerja 24 jam sehari, belajar dari pagi sampai tengah malam tanpa istirahat? Produktivitas sebenarnya adalah keseimbangan antara apa yang kita hasilkan dan kita dapatkan,” tutur dia.
Dari perspektif neurosains, ia menjelaskan kondisi mental yang tidak baik dapat memicu gangguan kesehatan fisik, termasuk penyakit autoimun.
Hal itu terjadi lantaran sistem tubuh akan terus memproduksi hormon stres saat seseorang berada dalam tekanan dalam waktu lama.
“Kelenjar dalam tubuh akan teraktivasi kalau kita stres atau cemas. Ketika tidak mendapatkan kesempatan untuk mengelola apa yang kita rasakan dalam waktu cukup lama, maka akan ada inflamasi karena hormon-hormon stres di dalam tubuh terus diproduksi,” ucap dia.
Dia menyebut setidaknya ada empat tanda yang bisa dikenali ketika kesehatan mental seseorang mulai memburuk, yaitu dominasi emosi negatif, penurunan kemampuan kognitif, berkurangnya minat merawat diri, serta kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial.
“Isolasi diri itu salah satu ‘silent killer’ atau pembunuh diam-diam bagi kesehatan mental. Karena ketika kita sendirian, apalagi dalam posisi mental yang tidak baik-baik saja, hormon stres juga tetap keluar selama tidak ada kehadiran orang lain,” terangnya.
Menurut dia, kehadiran orang lain dan koneksi sosial yang positif sangat penting untuk membantu memperbaiki kondisi mental seseorang.
Menanggapi maraknya fenomena “self-diagnosis” di kalangan muda, Sabiqotul membedakan secara tegas antara “self-care” dan “self-diagnosis”.
“Perasaan sedih, semangatnya turun, itu manusiawi. Tapi untuk melabeli diri dengan istilah tertentu atau diagnosis, itu seharusnya ranah ahli,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi fenomena romantisasi penyakit mental di media sosial yang membuat kondisi tersebut seolah menjadi hal yang indah atau istimewa.
Karena itu, Sabiqotul mengimbau agar siapa pun tidak menunggu hingga kondisi memburuk sebelum mencari bantuan profesional.
“Jangan tunggu sampai parah. Ketika sudah ada tanda-tanda seperti emosi tidak stabil, kognisi menurun, atau menarik diri dari sosial, tidak ada salahnya menemui psikolog atau psikiater,” kata dia. (bro)