Walaupun Miskin Masyarakat Indonesia Ternyata Tetap Bahagia

INDOPOSCO.ID – Tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan tahun ini. Bukan semata-mata karena banyaknya uang.
Data Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) yang dilakukan oleh BKKBN mencatat (indikator) tenteram, mandiri, bahagia. Yang tertinggi adalah kebahagiaan, skornya 72. Sedangkan skor kemandirian 51. Kemudian skor ketenteraman sekitar 56 atau 57.
“Faktanya, masyarakat Indonesia walaupun miskin tetap bahagia,” ungkap Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo di sela acara Ramah Tamah dan Syukuran Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 Tahun 2024 di Auditorium BKKBN Pusat, Jakarta, Rabu (17/7/2024) lalu.
Berdasarkan data tersebut, menurut Hasto, kemandirian masyarakat sesungguhnya masih lemah, walau kebahagiaan tinggi.
“Miskin tapi bahagia. Begitu kenyataannya. Masih bisa bersyukur. Meskipun masih miskin tapi tidak sedih,” ungkapnya.
Hasto lebih rinci menjelaskan tiga indikator pengukuran iBangga. Pertama, indeks ketenteraman.
“Contoh indeks ketenteraman adalah pasangan suami istri. Mereka memiliki akta nikah atau dokumen. Kalau istri simpanan, pasti nilai ketenteramannya rendah. Terus uring-uringan, dikejar-kejar rasa bersalah, maka nilai ketenteramannya rendah. Skor kita belum sampai 60. Belum tenteram karena perceraian juga tinggi,” tambah dokter Hasto.
Kedua, indikator kemandirian yang berkaitan erat dengan faktor ekonomi.
“Kemandirian itu jelas, angkanya 52. Artinya, dia belum bisa mencukupi biaya pendidikan, biaya makan. Bukankah rakyat Indonesia banyak yang menengah ke bawah,” jelasnya.
Indikator iBangga ketiga adalah kebahagiaan. Kebahagiaan ditandai dengan kehidupan bersosialisasi, gotong royong, berwisata, rekreasi, berkomunikasi, berinteraksi.
“Itu memang happy kita. Kalau di kampung jaga gardu, ronda ramai-ramai, ketawa-ketawa, padahal hutangnya banyak,” urainya.
Ia juga menjelaskan perbedaan peringatan Harganas tahun ini dengan tahun sebelumnya. Perbedaan itu tentang adanya pola pikir baru terkait penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan balita secara serentak.
“Yang spesial, bupati, wali kota hingga kader dan kader PKK ada mindset baru di mana di Harganas kemarin baru digelar intervensi serentak pencegahan stunting. Mereka punya mindset baru bahwa penimbangan balita tidak hanya ditimbang, tetapi diukur panjangnya dan harus mencapai 100 persen (sasaran),” jelas Hasto.
Menurut Hasto, di momentum Hari Keluarga Nasional 2024 mereka digerakan untuk mulai melakukan pengukuran dan penimbamgan serentak di posyandu dari tanggal 1 hingga 30. Semua balita di wilayahnya harus diukur.
“Jadi, Harganas tidak hanya hura-hura saja. Tidak ada action, Tapi yang dilakukan kongkrit. Balita yang tidak datang harus didatangi ke rumah. Hasilnya, 96 persen balita sudah terukur saat Harganas diperingati di bulan Juni lalu. Itu mindset yang penting menurut saya. Ada perhatian kita kepada mereka,” jelas Hasto.
Dalam sambutannya, ia juga berharap di puncak peringatan Harganas Tahun 2025 nanti akan ada kejuaraan pembangunan lingkungan di tiap daerah terkait faktor sensitif yang mempengaruhi stunting. Termasuk penghargaan kepada kementerian/lembaga yang berkontribusi dalam Percepatan Penurunan Stunting.
“Mungkin tahun depan kita buat kejuaraan terkait pembangunan lingkungan oleh pemerintah daerah selama setahun,” ujar Hasto, seraya menunjuk di antaranya indikator ODF (Open Defecation Free-Stop Buang Air Besar Sembarangan) dan pembangunan jamban.
“Bila pembangunan berdasarkan indikator tersebut sukses, terutama yang beririsan dengan kemiskinan ekstrem, dan Keluarga Berisiko Stunting, usul saya kita berikan penghargaan kepada kabupaten dan kota tahun depan, ” tambahnya.
Hingga kini belum semua kota/kabupaten dan provinsi ODF-nya mencapai 100 persen. “Masih banyak yang 90 persen,” ungkapnya.
Hasto menjelaskan kembali bahwa faktor sensitif penurunan stunting adalah faktor lingkungan.
“Lingkungan yang mempengaruhi stunting di potret, dicek. Ada tiga variabel: rumah kumuh, jamban, kemudian air bersih,” tutupnya. (ney)