INDOPOSCO.ID – Ketua Umum (Ketum) Perkawinan Campuran (Perca) Indonesia Juliani W Luthan menuturkan, Undang-undang (UU) Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 merupakan terobosan yang signifikan. Pasalnya, ada perlindungan anak dari hasil perkawinan campur yang sah.
“Semangat dan isi UU tersebut mampu menyelesaikan dan memberikan manfaat perlindungan yang utuh semangat kesetaraan dalam kehidupan berkeluarga,” ujar Juliani W Luthan dalam acara daring, Jumat (28/5/2021).
Ia menilai, implementasi UU Kewarganegaraan saat ini tidak bersifat statis. Ada beberapa kasus dan hambatan yang menimpa anak hasil perkawinan campuran yang sah.
“Dari identifikasi kami, salah satu masalah yang dihadapi anak perkawinan campuran adalah mereka yang lahir sebelum 2006 karena deadline,” ungkapnya.
Padahal, dikatakan dia, saat disahkan UU 12/2006, pemerintah secara masif melakukan sosialisasi. Namun, terkendala akses internet dan media sosial (Medsos) saat itu.
“Contoh yang terdampak, yakni kasus Gloria calon Paskibraka. Orangtua tidak melaporkan karena ketidaktahuan,” terangnya.
Tidak sedikit, ujar dia, faktor human error juga memperbesar bermunculan kasus anak yang kesulitan melakukan naturalisasi. Apalagi, banyak masyarakat yang tidak melek hukum.
“Informasi petugas pelayanan tentang kewarganegaraan juga tidak akurat, terutama pasal 41 UU 12/2006. Padahal mereka yang lahir sebelum UU ini bisa mendaftar,” ucapnya.
Menurut dia, banyak anak-anak hasil perkawinan campur yang memilih menjadi warga negara asing (WNA). Sebab, banyak teknis dan juknis yang rumit mereka hadapi saat mengurus kewarganegaraan Indonesia.
“Buat anak-anak ini diberlakukan persyaratan ketat seperti WNA dan biaya lama, yakni Rp50 juta,” ujarnya. (nas)