Harusnya Moeldoko Bisa “Merebut” Demokrat dengan Elegan

INDOPOSCO.ID – Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Mikhael Raja Muda Bataona menilai Moeldoko seharusnya bisa lebih elegan dalam menduduki kursi pimpinan.
Salah satunya dengan menolak tawaran sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) dan membiarkan opsi win win solution di antara para kader yang dipecat dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Dari sana, mungkin Moeldoko akan dipandang sebagai simbol pemersatu Demokrat dan di kemudian hari bisa saja masuk dalam jajaran tokoh di internal Demorkat dan kemudian menjadi Ketua Umum dengan cara yang fair dan demokratis,” kata pengajar Fisip Unwira Kupang ini seperti dikutip Antara, Sabtu (6/3/2021).
Menurutnya, saat ini Moeldoko melakukan blunder politik yang secara langsung menyeret Kabinet Jokowi ke dalam kisruh Partai Demokrat. Ini menjadi stigma buruk masyarakat akan makin kuat menyebut ini sebagai skenario penguasa.
Padahal, meski tanpa variabel Jokowi dan kekuasaan pun, friksi internal Demokrat memang sudah ada potensinya, dimana, sejarah partai ini sejak era Anas memang sudah penuh faksi dan friksi. Hanya saja selama ini tidak pernah ter-“publish” dan diwacanakan secara besar-besaran seperti saat ini.
“Moeldoko harusnya paham bahwa intergitasnya sebagai tokoh diukur dari tindakannya saat ini.
Dengan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB, Moeldoko sudah pasti disebut tidak bermoral,” cetus Mikhael.
Dia menyebut, meski tak tertulis “moralitas” dipahami dan dihayati oleh semua politisi sebagai sesuatu yang mahal dan mulia. Moralitas itulah yang mengikat semua politisi yang ingin dikenang sebagai negarawan.
Moeldoko rupanya lupa bahwa Moralitas adalah hukum yang “given dan non negotiable” dalam politik.
Dalam moralitas inilah akan nampak dimensi-dimensi metafisis yang tidak bisa terkatakan tetapi hanya bisa dirasakan ketika seorang politisi melakukan sesuatu yang dilandasi oleh sikap ksatria dan jiwa besar.
“Dengan melakukan itu maka yang akan nampak di sana adalah kehormatan,” tambah pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.
Artinya dalam kasus KLB Demokrat ini, tokoh sekaliber Moeldoko sedang kehilangan kehormatannya di mata publik karena wacana dominan yang ada di ruang publik saat ini adalah tentang moralitas politik itu.
“Jadi menurut saya, apa yang dilakukan Moeldoko adalah ekspresi amoralitas politik. Mengapa amoral secara politik? Karena dalam politik yang paling brutal sekalipun, ada batasannya, yaitu moralitas,” katanya.
“Moralitas adalah sesuatu yang non-negotiable atau sesuatu yang tidak bisa dikompromikan. Anda boleh menyerang lawan politik anda dan mengalahkannya, tapi batasannya adalah moral,” katanya. (wib)