Perwira TNI Jadi Ajudan DPR, Pengamat: Negara Rugi Melatihnya

INDOPOSCO.ID – Pengamat Militer Selamat Ginting menilai permintaan Anggota Komisi III DPR RI Brigitta Lasut tidak sesuai prosedur. Semestinya, permintaan ajudan dari personel TNI harus dilakukan melalui Kesekretariatan Jenderal DPR RI.
“Dia kan masih muda, jangan-jangan tidak paham. Seharusnya permintaan tidak dilakukan secara perseorangan, tapi lewat prosedur kesekjenan. Jadi nanti kesekjenan yang bersurat ke Mabesad,” kata Selamat Ginting melalui gawai, Minggu (23/1/2022).
Ia mengatakan, permintaan dari satu anggota akan diikuti oleh semua anggota DPR. Dan apabila itu dipenuhi, maka jumlahnya bisa lebih dari satu batalyon.
“Satu anggota DPR 2 anggota TNI, kalau DPR seluruhnya lima ratusan sudah 1 batalyon. Apalagi permintaan TNI muda,” katanya.
Baca Juga : Panglima TNI Janji Selidiki Penghentian Kasus Dugaan Korupsi Helikopter AW
Menurut dia, personel TNI muda sebaik-baiknya di lapangan. Tidak kemudian menjadi ajudan DPR. “Negara rugi melatih mereka. Masa hanya bertugas mengawal mereka. Ini biasanya mahal,” terangnya.
Untuk pengawalan, lanjut dia, bisa dilakukan secara situasional. Seperti anggota DPR RI saat bertugas di Papua. Dan itu dilakukan tidak secara permanen.
“Anggota DPR bertugas selama 5 tahun. Jadi sangat rugi sekali, negara harus menyediakan 1 batalyon untuk bertugas jadi ajudan DPR,” ujarnya.
Ia menilai etika politik Brigitta Lasut sebagai mitra lembaga TNI patut dipertanyakan. Semestinya dipatuhi oleh anggota DPR.
“Jangan-jangan dia tidak paham, buta apa anggota TNI direkrut? Mereka direkrut untuk berperang, bukan menjadi ajudan,” bebernya.
Kalau kemudian, dikatakan dia, saat ini ada permintaan dari satuan perorangan maka itu jadi langkah mundur. Kendati permintaan tersebut datang dari anggota Komisi III DPR RI.
“Yang boleh itu Presiden, Wapres dan saat mereka sudah tidak bertugas lagi. Kan ada Paspampres, untuk mengawal mereka,” ucapnya.
Apalagi selama ini anggota DPR RI mendapat pengamanan dalam dari lembaga kepolisian. Kendati, sebenarnya itu tidak juga dibenarkan oleh UU. Sebab, keduanya sama-sama aparatur negara.
“Kalau hanya untuk tugas, kan itu tugas kepolisian bukan militer. Jadi jangan-jangan dia tidak mengetahui tupoksi militer,” ujarnya. (nas)