KPU Perlu Mandiri soal Jadwal Pemilu 2024

INDOPOSCO.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus benar-benar mandiri dalam mengambil keputusan terkait jadwal Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Kemandirian itu berkaitan dengan independensi menjalankan wewenang sesuai dengan peraturan dan undang-udang yang berlaku.
Pakar komunikasi politik (komunikolog) dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr. Emrus Sihombing mengatakan, berbicara tentang aktor politik dalam hal ini partai politik dan individu yang berprofesi sebagai politisi (politician), sudah pasti di sana ada politik. Mana mungkin, aktor politik berperilaku tidak politik.
Terkait belum adanya kesepatakan mengenai jadwal Pemilu 2024, yang merupakan pesta demokrasi lima tahunan, tentu tidak terlepas dari perilaku politik.
“KPU tampaknya belum mandiri dalam mengambil keputusan untuk menentukan jadwal Pemilu 2024. Menurut saya, penentuan jadwal pemilu adalah ranah dan kewenangan KPU. Memang undang-udang kita mengatur soal konsultasi dengan pemerintah dan DPR. Tetapi itu kan sifatnya konsultatif. Konsultasi boleh dilakukan untuk mendengar masukan dari pemerintah dan DPR, tetapi tetap decision terakhir ada di KPU,” ujar Emrus, kepada INDOPOSCO, Rabu (1/12/2022).
KPU kata Emrus, harus mendengarkan sungguh-sungguh masukan dari pemerintah dan DPR. Kalau, usulan dari DPR atau pemerintah lebih baik, bisa diambil oleh KPU dalam memutuskan jadwal Pemilu 2024.
“Intinya, keputusan ada di KPU, bukan di pemerintah dan DPR. Kalau KPU merasa tanggal yang mereka tentukan baik, maka tetapkan saja. Yang penting telah dilakukan langkah konsultasi dengan pihak pemerintah dan DPR,” kata Emrus.
Menurut Emrus, penetapan jadwal Pemilu 2024 itu, bisa saja diambil dari yang diusulkan pemerintah, atau usulan DPR, atau tanggal yang ditentukan oleh KPU sendiri, atau bisa juga tanggal lain yang menjadi jalan tengah.
“Tetapi, KPU sebagai penyelenggara pemilu harus tetap mandiri dalam mengambil keputusan, tentu berdasarkan berbagai pertimbangan yang masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Namun, kata Emrus, KPU agak sulit untuk mengambil keputusan dengan mandiri karena keberadaan komisioner KPU dipilih oleh panitia seleksi (Pansel) yang dibentuk pemerintah.
“Kalau kita bicara secara sosiologis, tidak ada suatu fenomena sosial itu bersifat objektif 100 persen. Mendekati objektif, mungkin. Relasi-relasi antara manusia itu tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektivitas. Karena setiap manusia memiliki subjektivitas. Subjektivitas saya adalah kepentingan saya, dan kepentingan politik dari partai politik di mana saya bernaung. Hal yang sama dengan proses seleksi komisioner KPU pasti tidak terlepas dari hal subjektivitas,” kata Emrus.
Menurut Emrus, unsur subjektivitas inilah menjadi salah satu faktor KPU agak sulit untuk mengambil keputusan dengan mandiri dalam hal penentuan jadwal Pemilu 2024.
Karena itu, kata Emrus, proses seleksi komisioner KPU harus dibenahi, sehingga komisioner yang terpilih benar-benar independen.
“Tentu untuk mendapat komisioner yang objektif 100 persen tidak mungkin. Paling tidak 80-90 persen objektif. Misalnya, Pansel dipilih dari orang-orang yang berasal dari organisasi keagamaan. Orang-orang tersebut secara etika dan moral pasti cukup baik dan tentu bebas dari kepentingan politik praktis,” ujarnya.
Emrus mengatakan, jangan sampai penentuan tanggal Pemilu 2024 ini ditentukan oleh komisioner KPU yang baru. Saat ini, sedang dalam proses seleksi anggota komisioner KPU untuk periode 2022-2027.
“Kalau jadwal Pemilu 2024 diputuskan oleh komisioner KPU yang sekarang masih lebih objektif. Tetapi kalau nanti anggota komisioner KPU yang baru yang menentukan, peluang terjadinya interaksi untuk kepentingan tertentu. Akibatnya, tidak ada kebebasan dalam mengambil keputusan. Jadi, sebaiknya komisioner KPU yang sekarang menentukan jadwal Pemilu 2024 itu,” katanya.
Lebih jauh, Emrus mengimbau kepada KPU agar penentuan tanggal pemilu itu harus terhindar dari simbol kekuatan politik tertentu. KPU menentukan tanggal 21 Februari 2024. Menurut Emrus, tanggal ini bisa diasosiasikan dengan simbol tertentu (212), walaupun KPU tidak memiliki niat untuk dikaitkan dengan simbol kekuatan tertentu tersebut.
“Selain itu, penentuan tanggal jadwal pemilu, tidak boleh dekat dengan hari keagamaan apa pun. Dan, tidak boleh berdekatan dengan hari yang menjadi simbol kekuatan partai politik tertentu,” katanya.
Emrus menegaskan, yang membuat simbol itu bermakna adalah manusia. Kekuatan politik tertentu, bisa menggunakan simbol itu pada saat kampanye.
“KPU seharusnya menghindari angka-angka (tanggal) yang bisa diasosiasikan dengan simbol tertentu,” katanya.
Emrus mengungkapkan, di KPU saat ini memang tidak ada yang berlatarbelakang ilmu komunikasi sehingga tidak paham tentang teori simbol.
“KPU pasti tidak sengaja menentukan tanggal 21 Februari itu. Ketidaksengajaan mereka bisa dimaklumi, karena latar belakang mereka tidak ada yang komunikolog. Ke depan, dari 7 komisioner KPU itu, harus ada komunikolog. Simbol adalah bagian dari komunikasi. Komunikasi bisa membuat pemilu berjalan dengan baik. Komunikasi juga bisa membuat perpecahan, dan lain-lain. Saya sarankan, untuk komisioner KPU harus satu kursi untuk komunikolog. Saya siap pertanggungjawabkan secara akademik, kenapa perlu ada orang komunikasi (komunikolog) di komisioner KPU,” ujar Emrus.
Lebih lanjut, Emrus mengatakan, salah satu tugas komunikolog adalah sosialisasi, pembudayaan demokrasi dan pemilu. Hanya orang komunikasi yang paham itu.(dam)