Sidang Online HRS, Kuasa Hukum: Itu Upaya Represif Peradilan

INDOPOSCO.ID – Bentuk dan cara-cara pemaksaan majelis yang tetap ngotot menggelar sidang Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara online, adalah salah satu bentuk peradilan yang Represif dan sesat. Pernyataan tersebut diungkapkan Djudju Purwantoro, Tim Kuasa Habib Rizieq Shihab dalam keterangannya, Jumat (19/3/2021).
Tetap ngototnya majelis hakim menggelar sidang secara daring (online), menurutnya, adalah sebagai bukti indikasi pelanggaran penegakkan hukum yang berkeadilan.
Ie menjelaskan, sidang secara online (streaming) yang dilaksanakan dengan argumen dan dasar hukum Peraturan Mahkamah Agung (Perma) adalah salah satu bentuk persidangan, tapi dengan cara-cara dzolim dan merobek-robek rasa keadilan masyarakat itu sendiri. Dalam sistim hierarki Perundang-undangan saja sudah jelas diatur bahwa kedudukan hukum Perma adalah dibawah Undang-Undang (UU).
“Perma Nomor 4 Tahun 2020, pasal 2 ;
Jika mengacu pada pasal 152 KUHAP ayat (2) adalah “hakim memerintahkan pada penuntut umum untuk memanggil terdakwa untuk datang di sidang pengadilan, dan hakim memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan yang dimengerti oleh terdakwa.” (vide pasal 153 ayat 2). Jadi ketentuan Perma no.4 tahun 2020 tersebut, mengatur persidangan secara online hanya optional, hakim melalui JPU harus tetap bisa menghadirkan terdakwa di muka persidangan,” terangnya.
“Demikian halnya diatur dalam pasal 154 ayat (1) KUHAP “Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas”,” imbuhnya.
Lalu, masih ujar Djudju, ketentuan pasal 146 dan 154 KUHAP juga diatur rinci terdakwa harus dihadirkan sejak pemanggilan, hingga dihadapan persidangan. Kehadiran terdakwa di persidangan sifatnya mengikat (imperatif), sedangkan sidang online sifatnya hanya kondisional (fakultatif).
“Kehadiran para Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan para Kuasa Hukum di ruang sidang juga berpotensi kerumunan. Tentu sebagai bukti tidak akan menjadi kendala proses persidangan secara tatap muka (normal). Hal itu jika dibandingkan dengan upaya majelis menghadirkan hanya seorang Terdakwa (HRS),” ungkapnya.
“Jadi tidak ada alasan (dicari-cari), yang memaksa majelis harus terus bertahan melaksanakan sidang secara online,” imbuhnya.
Ia mencontohkan di negara adi daya dan sekuler saja seperti Amerika, tidak serta merta dengan gampang melaksanakan sidang secara elektronik. Diperlukan syarat dan ketentuan khusus dalam melaksanakan persidangannya. Syarat yang dipertimbangkan antara lain, dalam situasi darurat, penetapan pengadilan, dan adanya persetujuan Terdakwa.
“Contoh lain (jurisprudensi), kasus Joko Tjandra, Jaksa Pinangki, Irjen Napoleon dalam kasus pidana korupsi dapat dihadirkan di muka sidang secara offline (tatap muka),” ujarnya. (nas)