Ekonom Nilai Pemangkasan TKD 2026 Jadi Tantangan bagi Stabilitas Nasional

INDOPOSCO.ID – Pemerintah pusat menetapkan alokasi Transfer ke Daerah (TKD) 2026 hanya sekitar Rp693 triliun. Turun lebih dari Rp200 triliun dibandingkan realisasi 2025 yang mencapai sekitar Rp919 triliun.

Pernyataan tersebut diungkapkan Ekonom Achmad Nur Hidayat melalui gawai, Senin (13/10/2025). Ia mengatakan, secara bersamaan, pemerintah mengklaim telah menaikkan program pusat untuk daerah dari Rp900 triliun pada 2025 menjadi Rp1.300 triliun pada 2026.

“Di atas kertas, tampak seolah dana untuk daerah meningkat. Inilah akar persoalan yang harus kita waspadai,” katanya.

Ia menerangkan, TKD bukan sekadar angka dalam tabel APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), namun menjadi simbol kepercayaan fiskal negara kepada daerah.

“Ketika simbol itu dipangkas, maknanya lebih dalam dari pada sekadar penghematan,” katanya.

“Ini berarti pergeseran kekuasaan fiskal yang berpotensi mengabaikan amanat undang-undang (UU) dan menurunkan kualitas demokrasi ekonomi di daerah,” sambungnya.

Sebelumnya, pemerintah beralasan bahwa pemangkasan TKD dilakukan karena banyak dana daerah mengendap dan tidak terserap optimal.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menyebut masih banyak pemerintah daerah yang tidak efisien dalam mengelola anggaran.

“Logika ini sekilas masuk akal, ibarat orang yang boros diberi uang banyak, mungkin memang perlu ditegur agar lebih hemat,” kata Achmad.

Namun, lanjutnya, analogi ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab dalam sistem fiskal nasional, dana daerah bukan “uang saku” yang diberikan atas belas kasih pusat. Melainkan bagian dari hak konstitusional daerah berdasarkan formula yang diatur Undang-Undang HKPD (Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah).

“Ketika pusat menilai kinerja daerah buruk lalu memangkas hak fiskalnya secara sepihak, negara justru sedang menghukum mekanisme desentralisasi yang dibangunnya sendiri,” jelasnya.

“Kita tahu bahwa sebagian besar kabupaten/kota bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk membayar gaji ASN dan PPPK, membiayai layanan dasar pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur kecil seperti jalan desa atau sanitasi,” sambungnya.

Ia mengungkapkan, ketika TKD menurun, banyak daerah miskin fiskal kini menghadapi risiko gagal bayar gaji PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) atau harus menunda proyek pembangunan publik.

“Data dari APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) dan Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) menunjukkan penurunan TKD mencapai 25–30 persen di tingkat provinsi, dan bahkan hingga 60–70 persen di beberapa kabupaten,” terangnya.

Ironisnya, dikatakan dia, program “pengganti” dari pusat yang diklaim mencapai Rp1.300 triliun justru didominasi oleh bantuan sosial (Bansos), seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, dan subsidi iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

“Bukan bahwa bansos tidak penting, tetapi sifatnya tidak memperkuat kapasitas fiskal daerah,” ucapnya. (nas)

Exit mobile version