Data Lemah dan Insentif Tak Tepat, PR Besar di Balik Kebijakan Pangan Indonesia

INDOPOSCO.ID – Harga beras, cabai, dan bawang kerap menjadi ukuran sederhana bagi masyarakat untuk menilai “sehat tidaknya” ekonomi Indonesia. Namun, di balik fluktuasi harga yang sering memanas di pasar, ada satu hal yang kerap luput dari sorotan, yakni peran pemerintah seharusnya bukan sekadar menjadi “penentu harga”, melainkan arsitek sistem pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Pengaturan harga bahan pokok di pasar domestik memang menggoda secara politik, tetapi langkah itu sering kali hanya bersifat sementara. Kunci sesungguhnya justru terletak di hulu, seperti di sawah, ladang, dan kebun tempat para petani berjuang. Pemerintah perlu memastikan rantai pasok bekerja efisien melalui sistem insentif yang membuat petani merasa dihargai, bukan sekadar dijanjikan.

Dalam pandangan ekonom Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati, fokus kebijakan fiskal di sektor pertanian harus diarahkan pada penguatan data dan efektivitas anggaran. Ia menilai, selama ini pemerintah masih kesulitan memantau produktivitas dan kesejahteraan petani kecil karena sistem pendataan yang tercerai-berai dan tidak sinkron. Akibatnya, banyak kebijakan lahir tanpa pijakan data yang kuat.

“Kalau yang dibicarakan itu soal pendapatan, memang sulit untuk dipantau. Pemerintah memang punya data dari SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), tapi belum tentu datanya benar-benar menyentuh petani kecil,” ujar Ninasapti kepada INDOPOSCO usai diskusi publik bertajuk “1 Tahun Pemerintahan Prabowo, Apa Kabar Ketahanan Pangan?” yang digelar oleh Lembaga Survei KedaiKOPI di Jakarta, Sabtu (11/10/2025).

Menurut Nina -sapaan Ninasapti Triaswati-, upaya meningkatkan kesejahteraan petani kecil dapat dilakukan melalui penguatan kelembagaan seperti koperasi dan digitalisasi transaksi pertanian. Dengan sistem data yang terintegrasi, pemerintah bisa memantau pergerakan penjualan, pembelian, serta penyaluran subsidi dengan lebih akurat.

“Kalau datanya digitalisasi, penjual-pembelian bisa menjadi basis untuk penyaluran subsidi. Tapi sekarang belum terlihat sistem itu berjalan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Nina menekankan pentingnya mendorong petani menjadi bankable, agar mereka dapat mengakses layanan keuangan formal seperti perbankan.

“Harus dibangun sistem yang membuat petani itu bankable. Di Jepang, semua petani sudah punya HP dan rekening bank. Kalau sudah punya bank account, aman. Nah, di kita masalahnya masih di situ,” jelasnya.

Menurut Nina, keberhasilan kebijakan pangan tidak hanya bergantung pada harga atau subsidi, tetapi juga pada keberlanjutan sistem ekonomi pertanian yang inklusif dan terhubung dengan teknologi.

“Kalau sistemnya dibangun dengan benar, petani pun bakal sejahtera bukan karena diatur, tapi karena didukung,” tambahnya. (her)

Exit mobile version