Dampak Konflik Israel-Iran, Pemerintah Waspadai Tekanan Ganda ke Ekonomi Indonesia

INDOPOSCO.ID – Dunia tengah berada dalam pusaran risiko global yang makin kompleks. Konflik geopolitik antara Israel dan Iran memanas, harga minyak melonjak, dan ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok belum menemukan titik temu. Kombinasi ini menjadi momok yang mengancam stabilitas perekonomian global, dan Indonesia tidak kebal dari dampaknya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menguraikan potret risiko global yang kini mulai merembes ke dalam negeri. Harga minyak yang awalnya berada di kisaran USD70 per barel kini melambung ke USD78 per barel, didorong oleh kekhawatiran pasar terhadap ketahanan pasokan akibat konflik di Timur Tengah.
“Risiko pertama adalah ketidakpastian harga cenderung naik, seperti harga minyak yang naik. Namun di sisi lain, dari sisi perekonomian global akan cenderung melemah,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Ia menekankan bahwa tekanan harga karena disrupsi geopolitik bukan hanya menyebabkan inflasi, tapi juga menurunkan daya dorong ekonomi global secara keseluruhan.
“Jadi kombinasi kenaikan harga karena disrupsi geopolitik dan security itu menyebabkan tekanan harga berarti inflasi naik namun dikombinasikan dengan ketidakpastian yang menyebabkan ekonomi global melemah. Itu kombinasi yang harus kita waspadai,” jelasnya.
Tekanan tersebut tercermin dari menurunnya kinerja manufaktur global. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Global Mei 2025 hanya berada di 49,6—terendah sejak akhir 2024. Indonesia sendiri mencatat angka lebih rendah lagi, di 47,4, menandakan kontraksi yang terjadi seiring dengan 70,8 persen negara ASEAN dan G20 yang juga mengalami hal serupa.
Menurut Sri Mulyani, dampak ini bersifat luas, dari tekanan terhadap ekspor dan impor, lesunya manufaktur, hingga aliran modal yang tak menentu.
“Risiko bagi Indonesia terlihat dengan global economic melemah kemungkinan mempengaruhi permintaan terhadap barang-barang ekspor kita. Harga komoditas ada yang pick up sangat tinggi, bukan karena supply demand dalam artian biasa, tapi lebih karena disruption karena adanya disrupsi. Nilai tukar juga dalam hal ini cenderung mengalami volatilitas dan suku bunga utang meningkat, terutama karena kebijakan fiskal di Amerika Serikat,,” jelasnya.
Organisasi global pun merevisi prediksinya. IMF dan Bank Dunia sama-sama memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk 2025 masing-masing menjadi 2,8 persen dan 2,3 persen. Proyeksi volume perdagangan global juga ikut anjlok ke 1,7 persen dari sebelumnya 3,8 persen di tahun 2024.
Namun, di tengah awan kelabu global, Indonesia tetap menunjukkan ketahanan. Indeks kepercayaan konsumen stabil di angka 117,5, penjualan semen meroket hampir 30 persen, dan konsumsi listrik sektor industri tumbuh 6,7 persen. Ekonomi nasional pun bertumbuh 4,87 persen pada kuartal pertama 2025, dengan inflasi terkendali di 1,6 persen secara tahunan.
Sri Mulyani menyebut kekuatan ekonomi ini ditopang oleh peran penting APBN sebagai perisai fiskal negara di tengah ketidakpastian.
“Di tengah tensi global yang memuncak dan volatilitas dari pasar keuangan maupun perekonomian global, Indonesia tetap bisa menjaga stabilitas ekonomi dan juga menjaga stabilitas kebijakan fiskalnya yang responsif dan adaptif, namun tetap terjaga dari sisi kesehatan APBN-nya sendiri,” tambahnya.
Untuk diketahui, per 31 Mei 2025, pendapatan negara tercatat Rp995,3 triliun, sementara belanja negara mencapai Rp1.016,3 triliun. Meski defisit masih terjadi, jumlahnya hanya 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan surplus keseimbangan primer sebesar Rp192,1 triliun, menandakan pengelolaan fiskal yang tetap disiplin, namun adaptif terhadap tantangan. (her)