Ekonomi

Karimunjawa Dinilai Layak Dijadikan Kawasan Investasi Terpadu

INDOPOSCO.ID – Negara harus hadir melindungi hajat hidup masyarakat dengan prinsip kesetaraan. Termasuk, dalam mengurai benang kusut yang menjerat para petambak udang di Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Karimunjawa sejatinya dipandang layak untuk dijadikan kawasan investasi terpadu. Yakni, untuk wisata, tambak rakyat, dan perikanan. Itulah sebabnya dalam menghadapi kisruh pengelolaan kawasan yang berujung pada penggusuran petambak dari Karimunjawa sangat diperlukan solusi yang bisa mengedepankan kesetaraan antara kepentingan konservasi alam, hajat hidup para petambak, masyarakat sekitar lokasi tambak, bahkan sektor industri pariwisata.

Model penanganan yang solutif serupa itu, menurut Hasanuddin Atjo, mantan birokrat di sektor perikanan, dalam wawancara pada Senin (1/4/2024), menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Sehingga kelak, penanganan itu dapat menjadi role model untuk permasalahan sejenis di tanah air. Ketimbang melakukan penggusuran usaha rakyat dan menjadikan sejumlah pembudi daya udang sebagai pelanggar hukum, seperti sebagaimana yang kini terjadi di Karimunjawa.

“Pemerintah pusat harus segera turun tangan untuk melakukan intervensi guna mengurai benang kusut yang menjerat usaha tambak udang di Karimunjawa. Masalahnya sangat sederhana, asalkan ada niat baik untuk melindungi hajat hidup masyarakat dengan prinsip kesetaraan,” ujar Atjo yang kini menekuni profesi sebagai pembudi daya udang di Sulawesi Selatan.

Dijelaskan Atjo, masalah pokok petambak udang di Karimunjawa bisa difokuskan dalam dua bagian. Pertama, masalah dampak buangan air limbah tambak ke kawasan perairan atau yang dikenal dengan IPAL. Kedua, masalah penarikan pipa yang melewati kawasan Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTN Kj).

“Dalam kaitannya dengan limbah, perlu diberikan penekanan bahwa sebutan limbah dalam konteks tambak adalah limbah organik, nonkimia. Itulah sebabnya, limbah dari aktivitas para petambak udang itu justru banyak dicari untuk dijadikan sebagai pupuk. Baik itu oleh petani rumput laut, maupun petani tanaman darat, seperti kelapa sawit,” ujar dia.

Terkait dampak buangan limbah tambak pula, Atjo menyebut perlunya keterlibatan pemerintah pusat untuk memberikan pembinaan sekaligus pembangunan fasilitas. Sehingga, sambung dia, para petambak memiliki IPAL Komunal yang terkoneksi dengan IPAL masing-masing petambak. Di mana kemudian, dalam konteks Karimunjawa, air buangan dari IPAL Komunal itu bisa dialirkan ke zona pemanfataan Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTN Kj).

Kehadiran negara terkait pembangunan fasilitas IPAL Komunal memang sulit dielakkan, karena Atjo mengingatkan, besarnya biaya yang dibutuhkan. Hanya saja, kepentingan untuk menjadikan Karimunjawa sebagai role model perpaduan berbagai sektor investasi, dipandang sebanding nilainya dengan anggaran yang harus disiapkan pemerintah.

“Ini layak dijadikan proyek nasional lintas sektoral, melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian PUPR, dan Kementerian Pariwisata. Harus dingat, solusi yang lahir di Karimunjawa akan menjadi preseden yang prosesnya dipantau oleh seluruh masyarakat Indonesia,” tandas Atjo.

Lebih jauh, Atjo menekankan perlunya intervensi pemerintah pusat untuk menghentikan kriminalisasi terhadap para petambak udang Karimunjawa. Sebab selain tidak diperlukan, langkah serupa itu juga kontraproduktif bagi pembangunan, khususnya pada aspek penguatan ekonomi kerakyatan berbasis perikanan tambak.

Diketahui, pada 2017 saat momentum awal semiintensifikasi tambak, Karimunjawa menjadi produsen tambak udang dengan kapasitas produksi 1.600 ton/tahun dengan nilai ekspor Rp130 miliar lebih. Ada sebanyak 300 pekerja yang berkenaan langsung dengan sektor itu dan 1.200 pekerja yang terserap secara tidak langsung.

“Bayangkan jika sektor tambak udang ini bisa disandingkan dengan sektor industri pariwisata yang kini sedang dikembangkan di Karimunjawa. Baik dari aspek agro wisata, aspek kuliner, dan seterusnya. Tentunya itu akan menjadi pilar-pilar ekonomi yang layak diperhitungkan tak hanya bagi masyarakat, melainkan juga daerah atau bahkan nasional,” ujar Atjo.

Nasib Petambak di Ujung Tanduk

Keinginan agar sektor industri tambak udang bisa hidup berdampingan dengan sektor usaha lain secara damai di Karimunjawa agaknya masih jauh panggang dari api. Sebab faktanya, eksistensi para petambak udang yang sudah menggeluti profesi sejak 1990-an–jauh sebelum pemerintah memutuskan Laut Karimunjawa sebagai kawasan konservasi–kini bagai tinggal menghitung hari. Pasalnya, Pemerintah Kabupaten Jepara menerbitkan peraturan rencana tata ruang wilayah (RTRW), berlaku pada kurun September 2023 hingga 2041, yang tidak lagi mengakomodir keberadaan usaha tambak di Karimunjawa.

Menyusul pemberlakuan perda tersebut, secara bertahap pemerintah setempat mulai melakukan serangkaian langkah penutupan tambak. Tambak-tambak udang yang sudah selesai memasuki masa panen, dihentikan operasinya dengan cara dilakukan pemotongan pipa. Sedangkan tambak-tambak yang belum memasuki masa panen, ditunggu hingga masa panennya tiba, sebelum akhirnya dihentikan operasinya.

Wakil Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia Budhy Fantigo menyebutkan, sebelum perda itu lahir, ada kecenderungan mempersulit pemberian izin operasional tambak yang diajukan para petambak. Hal itu berbuntut gugatan para petambak ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Proses hukum berlanjut hingga akhirnya Mahkamah Agung memenangkan gugatan petambak dan Pemkab Jepara diwajibkan menerbitkan izin usaha para petambak.

Alih-alih memberikan izin, Pemkab Jepara bersama DPRD Jepara malah melahirkan Perda RTRW yang justru menghilangkan eksistensi petambak udang di Karimunjawa. Sebelum Perda itu lahir, ujar Budhy, sempat pula dihembuskan isu pencemaran lingkungan perairan Karimunjawa serta tuduhan kejahatan lingkungan yang berbuntut penangkapan empat petambak udang, disertai dengan penahanan terhadap riga di antara mereka.

Balai Taman Nasional (BTN) Kj pun yang semula aktif membina petambak, pada 2022 menerbitkan hasil uji air laut yang mengindikasikan adanya pencemaran.

“Hasil uji air laut tahun 2022 itulah yang dijadikan dasar oleh Gakkum Kementerian LHK untuk melakukan penindakan dan penangkapan terhadap empat petambak yang dilakukan pada 2024,” tandas Budhy.

Sedangkan, Budhy menambahkan, uji sampel air laut tandingan dari hasil pemeriksaan oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Shrimp Club Indonesia (SCI), dan Forum Udang Indonesia (FUI), serta Puslabfor Polri, tidak menemukan adanya cemaran di atas baku mutu.

Bahkan Budhy menjelaslan, pada Senin (1/4/2024) dan Selasa (2/4/2024), Gakkum Kementerian LHK kembali mendatangi lokasi tambak milik keempat tersangka pencemaran lingkungan untuk mengambil sampel.

Langkah mengambil ulang sampel air tambak oleh Gakkum KLHK tersebut kontan memicu keheranan di kalangan para petambak.

“Saat ini para tersangka sudah ditangkap dan ditahan. Mengapa aparat baru disibukkan oleh kegiatan mengumpulkan alat bukti? Apakah sampel yang diambil sebelumnya kurang kuat untuk dijadikan alat bukti sehingga harus dilakukan pengambilan ulang? Jika kurang kuat, mengapa harus menangkap dan menahan seseorang? Sebaliknya, kalau sudah kuat lantas untuk apa harus diambil sampel baru? Siapa yang layak melakukan pengambilan sampel? Apakah orang itu memiliki keahlian yang memadai? Apakah salah jika kini para petambak merasa dikriminalisasi?” ungkap Budhy. (srv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button