Kamboja Pasar Potensial Bagi Salak Asal Indonesia
INDOPOSCO.ID – Meskipun Kamboja merupakan negara agraris, namun masih mengimpor sayur dan buah dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan RRT merupakan pemasok utama sayuran dan buah untuk Kamboja.
Indonesia juga patut berbangga karena salak asal Indonesia masih menjadi primadona di Kamboja.
Menurut Duta Besar RI Phnom Penh, Sudirman Haseng dalam rilisnya yang diterima indoposco.id, Senin (8/2/2021), salak Indonesia merupakan salah satu komoditi yang dapat diterima secara luas dan menjadi salah satu alat diplomasi Indonesia di Kamboja.
“Diharapkan komoditi lainnya dapat segera menyusul popularitas salak dan tentu ke depannya dapat meningkatkan ekspor terutama untuk produk-produk pertanian dan perkebunan Indonesia,” tutur Sudirman.
Menurut Sudirman faktor konektivitas terutama melalui jalur udara pada masa pandemi merupakan salah satu kendala utama untuk mendorong ekspor produk perkebunan dan pertanian Indonesia. KBRI Phnom Penh terus berupaya melakukan pendekatan dengan berbagai maskapai, baik di Indonesia maupun Kamboja untuk membuka kargo khusus udara terutama untuk komoditi segar.
Pada awal 2020, impor salak hanya dapat dilakukan selama 2 bulan sebelum semua akses penerbangan ditutup akibat pandemi Covid-19. Impor yang semua dilakukan dua kali seminggu tersebut berubah menjadi satu kali sebulan, dan sehingga satu kali setiap tiga atau empat bulan tergantung ketersediaan charter flight khusus.
Penggunaan charter flight untuk mengimpor buah menyebabkan biaya transportasi yang sangat tinggi. Pada akhirnya, transaksi total sepanjang tahun 2020 tercatat hanya 30 ton. Pada awal Februari 2021, sebanyak 7 ton salak Indonesia dapat diimpor kembali masih menggunakan pesawat charter flight khusus.
Menurut data Kementerian Perdagangan Kamboja, total perdagangan Indonesia dan Kamboja tercatat pada 2020 US$ 688 juta, di mana Indonesia menjadi salah satu negara asal impor terbesar di Kamboja. Jumlah ini memiliki potensi untuk meningkat jika dapat diimbangi dengan ketersediaan transportasi langsung terutama kargo udara dari Indonesia ke Kamboja yang dapat menekan biaya transportasi.
Impor sayuran dan buah dilakukan karena beberapa faktor. Pertama, harga yang lebih murah daripada produk lokal. Kedua, pola bercocok tanam di Kamboja masih menggunakan cara tradisional sehingga hasil produksi bergantung pada musim. Ketiga, kurangnya kemampuan untuk post-harvest karena teknologi dan keterampilan masih terbatas. Keempat, sistem irigasi yang masih belum memadai. Kelima, kurangnya pasar untuk produk dalam negeri dimana sebagian besar masyarakat Kamboja lebih memilih produk impor.
Terakhir, kurangnya tenaga kerja di sektor pertanian dan perkebunan khusus untuk produk sayuran dan buah-buahan. Hal ini disebabkan karena rata-rata petani memilih menanam padi, sementara itu penduduk usia muda lebih memilih untuk bekerja di pabrik dan sektor industri lainnya, sedangan sebagian besar para petani telah memasuki usia lanjut tidak dan dapat bekerja secara maksimal. (wib)