• Redaksi
  • Iklan
  • Pedoman Media Siber
  • Standar Perlindungan Wartawan
  • Sertifikat Dewan Pers
indoposco.id
  • Home
  • Nasional
  • Megapolitan
  • Nusantara
  • Internasional
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Gaya Hidup
  • Multimedia
    • Fotografi
    • Video
  • Disway
  • Koran
  • Indeks
No Result
Lihat Semua
  • Home
  • Nasional
  • Megapolitan
  • Nusantara
  • Internasional
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Gaya Hidup
  • Multimedia
    • Fotografi
    • Video
  • Disway
  • Koran
  • Indeks
No Result
Lihat Semua
indoposco.id
No Result
Lihat Semua
  • Nasional
  • Megapolitan
  • Nusantara
  • Internasional
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Gaya Hidup
  • Multimedia
  • Koran
Home Gaya Hidup

‘Avatar: Fire and Ash’ Permainan Canggih Teknologi Pukau Penonton

Folber Siallagan Editor Folber Siallagan
Minggu, 21 Desember 2025 - 04:16
in Gaya Hidup
17662373684321016360127231204290

Seorang pengunjung berfoto dengan instalasi seni karakter Tsahik klan Mangkwan (Ash People) Varang yang dipasang di Senayan, Jakarta, Jumat (12/12/2025). ANTARA/Abdu Faisal

Share on FacebookShare on Twitter

INDOPOSCO.ID – Film entri ketiga dari saga Avatar garapan James Cameron, “Avatar: Fire and Ash” yang kini telah hadir di bioskop-bioskop tanah air, masih tidak henti memukau mata dengan permainan teknologinya.

Namun, dengan memperhitungkan akting riil para pemerannya melalui teknologi performance capture, serta inovasi teknis pengambilan gambar terbaru, film ini menjadi sebuah mahakarya yang menghargai betul kecerdasan manusia yang bekerja nyata sekaligus menguji batas-batas manual kecanggihan teknologi perfilman.

BacaJuga:

Dukungan untuk Medan, Chery Salurkan Bantuan dan Layanan Pemulihan

Sharp Perluas Lini Smartphone Premium Lewat AQUOS sense10 dan AQUOS R10

Libur Nataru Lebih Berkesan di TMII dengan Jelajah Budaya dan Penawaran Bank Raya

Dalam film ini, nama Oona Chaplin mencuri perhatian penonton, saat kembali menyaksikan keajaiban sekaligus kerasnya alam Pandora.

Dalam “Avatar: Fire and Ash”, Oona memerankan Varang, pemimpin klan Ash People yang antagonis.Selain aktingnya yang memikat, Oona Chaplin memang membawa garis keturunan legendaris di dunia hiburan.

Jika Anda merasa nama belakangnya familier, itu karena ia adalah cucu dari ikon film bisu Charlie Chaplin dan putri dari aktris Geraldine Chaplin.

Selain warisan keluarganya, Oona Chaplin juga sudah memiliki rekam jejak akting, terutama lewat perannya sebagai Talisa Maegyr dalam serial “Game of Thrones”.

Jalan cerita

Cerita Avatar: Fire and Ash bergulir beberapa minggu setelah peristiwa besar pada film kedua yang pengaturan lokasinya di wilayah perairan tempat tinggal klan Metkayina.

Kejadian tersebut mengguncang Jake Sully (Sam Worthington) dan ia pun menggeser metode kepemimpinannya menjadi lebih protektif sejak itu. Jake kini memprioritaskan peran sebagai pelindung bagi Lo’ak (Britain Dalton) dan Tuk (Trinity Jo-Li Bliss), serta Kiri (Sigourney Weaver) sebagai anak adopsinya.

Aktivitas Jake yang dilanda kekecewaan terhadap dirinya sendiri, semakin bergeser pada pengamanan teritori yang didiami oleh anggota keluarganya sebagai bentuk kesiapsiagaan terhadap munculnya ancaman dari pasukan planet asalnya Bumi, RDA (Resources Development Administration), yang kini menganggap Jake sebagai pengkhianat.

Pemeran karakter Kiri, Sigourney Weaver, sebelumnya memerankan karakter Dr. Grace Augustine (ibu biologis Kiri) dalam film pertama.

Di Fire and Ash, keterkaitan antara Kiri dan mendiang Dr. Grace semakin dalam, terutama melalui hubungan spiritual unik Kiri dengan Eywa.

Kehadiran Spider (Jack Champion) dalam lingkaran keluarga Sully juga menambah lapisan kompleksitas pada hubungan antar-karakter di klan Omatikaya yang dulunya mendiami hutan itu.

Meskipun Spider memiliki keterkaitan biologis dengan Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang), Sully tetap peduli padanya, dan menunjukkan peran sebagai figur pelindung bagi remaja tersebut.

Mengingat Spider adalah manusia yang tumbuh di lingkungan Na’vi, Jake akhirnya memutuskan mengembalikannya ke High Camp untuk menjamin kelangsungan hidupnya dengan pasokan logistik di sana yang mengatasi keterbatasan fisiknya di atmosfer Pandora yang tidak ramah dihirup oleh paru-paru manusia.

Konflik di Pandora terus memanas karena kegagalan misi tentara RDA di The Way of Water (judul film Avatar kedua). Kegagalan itu tidak membuat mereka mundur.

Kolonel Miles Quaritch tetap fokus pada misi pribadinya untuk menangkap Jake Sully, sementara pasukan RDA yang lebih besar melanjutkan operasi ekstraksi sumber daya secara agresif.

Fokus utama mereka tetap pada perburuan Tulkun, makhluk yang menyerupai paus, untuk mendapatkan plasmanya, komoditas paling berharga bagi manusia di Bumi.

Kegigihan RDA menunjukkan bahwa mereka tidak akan menyerah tanpa perlawanan di Fire and Ash.

Hal itu memaksa klan yang dipimpin oleh Jake Sully, termasuk klan Metkayina yang dipimpin oleh Tonowari (Cliff Curtis) dan istrinya, Ronal (Kate Winslet), untuk terus berada dalam kondisi siaga tempur.

Peran Sentral Neytiri

Peran Neytiri (Zoe Saldaña) dalam sekuel ini menjadi jauh lebih kompleks. Secara rasional, Neytiri adalah karakter yang mewakili trauma mendalam bangsa Na’vi akibat ekspansi manusia.

Di film ini, ia berperan sebagai pejuang elit yang memberikan dukungan taktis bagi Jake meski ketabahannya diuji setelah kehilangan pada peristiwa besar di film kedua.

Neytiri menunjukkan sisi tajamnya terhadap manusia, tapi ia juga mengalami kesulitan dalam menyelaraskan pandangannya terhadap Jake yang notabene dulunya juga manusia.

Neytiri menjadi sorotan dalam setiap interaksi dengan klan-klan Na’vi yang baru; ia adalah penjaga nilai-nilai tradisional Na’vi yang sering kali berbenturan dengan pragmatisme Jake.

Kapasitasnya diuji melalui kecakapan menggunakan busur di medan tempur serta saat menghadapi situasi yang terus berubah di Pandora.

Klan Wind Traders dan Ash People

Perluasan cakrawala budaya Na’vi terlihat melalui pengenalan klan Tlalim (Wind Traders) dan klan Mangkwan (Ash People). Klan Wind Traders dipimpin oleh Peylak (David Thewlis).

Mereka menunjukkan adaptasi melalui gaya hidup nomaden di angkasa menggunakan karavan terbang besar. Hal itu membuktikan bahwa bangsa Na’vi memiliki diversifikasi taktis yang luas dalam menguasai ekosistem udara, yang secara teknis berbeda dari klan hutan maupun pesisir.

Di sisi lain, klan Mangkwan atau Ash People di bawah kepemimpinan Varang (Oona Chaplin) menawarkan perspektif yang lebih keras.

Oona Chaplin membawa intensitas yang kuat pada Varang, pemimpin klan yang mendiami bioma vulkanik ekstrem.

Lingkungan tersebut membentuk pola pikir mereka menjadi lebih pragmatis dan dingin. Munculnya faksi ini menunjukkan bahwa konflik di Pandora telah bergeser menjadi persaingan pengaruh yang rumit antar-faksi Na’vi, di mana perbedaan lingkungan dan pandangan hidup menciptakan gesekan yang nyata antar-klan.

Skala dunia, HFR, dan 3D

Secara teknis, skala yang digunakan untuk menunjukkan dunia Pandora membuatnya semakin megah. Kehadiran makhluk raksasa seperti Indukan Tulkun sepanjang 91 meter memberikan referensi ukuran yang jelas terhadap unit mekanis seperti kapal induk milik RDA.

Detail karakter Na’vi setinggi 2,7 meter juga mencapai level realisme baru melalui teknologi performance capture.

James Cameron menegaskan bahwa setiap gerakan dan ekspresi wajah adalah murni milik para aktor tanpa penggunaan AI generatif sebagai bentuk penghormatan terhadap kerja keras aktor di balik titik-titik sensor wajah mereka.

Terkait penggunaan High Frame Rate (HFR), film ini menerapkan metode variable frame rate. Adegan aksi ditampilkan pada 48 fps untuk mengurangi motion blur, sementara adegan dialog menggunakan teknik duplikasi frame untuk mensimulasikan gerak 24 fps.

Secara rasional, efektivitas teknik ini bergantung pada sensitivitas mata penonton. Bagi sebagian orang, transisi ini mungkin terasa seperti fluktuasi frame rate yang tidak konsisten, namun tujuannya adalah menyeimbangkan ketajaman aksi dengan estetika sinematik tradisional.

Implementasi 3D Stereoscopic di sini berfungsi sebagai alat pengukur ruang. Dengan tingkat kecerahan proyektor yang dioptimalkan, kedalaman ruang pada bioma vulkanik terlihat luas dan memberikan perspektif nyata terhadap jarak antara elemen latar depan seperti partikel abu dengan latar belakang lava.

Secara keseluruhan, “Avatar: Fire and Ash” adalah perpaduan antara eksplorasi sosiologis klan yang kompleks dan eksperimen teknologi yang mendorong batas produksi visual sebuah film. (bro)

Tags: Avatar Fire and AshEfek Visual CanggihFilm HollywoodTeknologi Sinematik
Berita Sebelumnya

BNPB Laporkan Jumlah Pengungsi Bencana Sumatera Berkurang

Berita Berikutnya

Yusril: Presiden Prabowo Setujui Perumusan PP soal Reformasi Polri

Berita Terkait.

IMG-20251220-WA0016
Gaya Hidup

Dukungan untuk Medan, Chery Salurkan Bantuan dan Layanan Pemulihan

Sabtu, 20 Desember 2025 - 23:27
IMG-20251220-WA0011
Gaya Hidup

Sharp Perluas Lini Smartphone Premium Lewat AQUOS sense10 dan AQUOS R10

Sabtu, 20 Desember 2025 - 20:35
tmii
Gaya Hidup

Libur Nataru Lebih Berkesan di TMII dengan Jelajah Budaya dan Penawaran Bank Raya

Sabtu, 20 Desember 2025 - 12:08
ngopi
Gaya Hidup

Kebiasaan Ngopi Bisa Memperburuk Anxiety

Sabtu, 20 Desember 2025 - 06:06
enzy
Gaya Hidup

Enzy Storia Stres Jalani Adegan Stand Up di Film ‘Suka Duka Tawa’

Jumat, 19 Desember 2025 - 22:02
jurnaliss
Gaya Hidup

Ketika Para Jurnalis Menembak Sasaran Gunakan Senjata Serbu SS1 – V1 di Menlatpur Kostrad Karawang

Jumat, 19 Desember 2025 - 17:17
Berita Berikutnya
17662367303551538550684285634973

Yusril: Presiden Prabowo Setujui Perumusan PP soal Reformasi Polri

  • Redaksi
  • Iklan
  • Pedoman Media Siber
  • Standar Perlindungan Wartawan
  • Sertifikat Dewan Pers

© - & DESIGN BY INDOPOSCO.ID.

No Result
Lihat Semua
  • Home
  • Nasional
  • Megapolitan
  • Nusantara
  • Internasional
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Gaya Hidup
  • Multimedia
    • Fotografi
    • Video
  • Disway
  • Koran
  • Indeks

© - & DESIGN BY INDOPOSCO.ID.