INDOPOSCO.ID – Di saat publik Jakarta menunggu lahirnya tonggak penting perlindungan kesehatan, awan gelap justru menggelayut di langit DPRD Jakarta. Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Ranperda KTR) yang telah diperjuangkan lebih dari satu dekade kini berada di titik paling menentukan, atau paling memalukan.
Setelah menyelesaikan tahapan harmonisasi di Kementerian Dalam Negeri, Ranperda KTR dijadwalkan segera kembali ke DPRD Jakarta dan rencananya akan diputuskan dalam Sidang Paripurna pada 19 Desember 2025. Namun, alih-alih kabar baik, justru beredar informasi yang mencemaskan, yakni Ranperda KTR terancam ditolak.
Pegiat Perlindungan Konsumen sekaligus Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi menilai dinamika ini sebagai sinyal buruk bagi demokrasi dan kesehatan publik di ibu kota.
“Kalau benar Ranperda KTR ditolak di paripurna, itu bukan sekadar kegagalan legislasi. Itu adalah pengkhianatan terhadap warga Jakarta,” ujar Tulus melalui gawai, Rabu (17/12/2025).
Menurut Tulus, penolakan ini kian menguat setelah muncul sikap mengejutkan dari Gubernur Jakarta Pramono Anung, yang disebut-sebut justru meminta agar Ranperda KTR dibatalkan. Padahal sebelumnya, Gubernur Pramono dikenal sebagai salah satu pendukung kuat regulasi tersebut.
“Ini sangat anomali. Sikap berbalik arah ini patut diduga kuat akibat intervensi industri rokok, yang didorong melalui partai-partai politik pengusung,” katanya.
Tulus mengingatkan, lebih dari 90 persen warga Jakarta mendukung pengesahan Ranperda KTR, sebagaimana tercermin dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga seperti IYCTC dan Koalisi Smoke Free Jakarta. Karena itu, penolakan Ranperda KTR dinilainya sebagai bentuk pengingkaran terang-terangan terhadap suara publik.
“Kesehatan warga Jakarta jangan dibarter dengan kepentingan industri adiksi. Jika itu yang terjadi, maka ini sungguh memuakkan,” tutur Tulus.
Ia juga menyoroti fakta ironis bahwa Jakarta telah 14 tahun gagal melahirkan Perda KTR, meskipun secara prosedural pembentukan perda seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu 3 hingga 6 bulan.
“Ini bukan hanya soal gagal membuat perda, tapi juga soal pemborosan anggaran publik karena pansus Ranperda KTR dibentuk berulang kali tanpa hasil,” imbuhnya.
Lebih jauh, kegagalan ini akan menjadi tamparan keras di tingkat nasional. Saat lebih dari 90 persen daerah di Indonesia telah memiliki regulasi KTR, dan sekitar 62 persen di antaranya berupa Perda, Jakarta justru tertinggal, padahal secara historis DKI dikenal sebagai pelopor kebijakan KTR.
“Jakarta mengklaim diri sebagai kota global. Tapi kota global tanpa Kawasan Tanpa Rokok itu kontradiksi besar,” tegasnya.
Tulus menegaskan, tidak ada pilihan lain bagi Pemprov dan DPRD Jakarta selain mengesahkan Ranperda KTR secara utuh, selaras dengan PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang telah berlaku sebagai hukum positif nasional.
“Sedikitlah punya rasa malu dan tanggung jawab kepada publik. Anggota DPRD dipilih oleh warga Jakarta, bukan oleh oligarki industri rokok,” tambahnya.
Di ujung penantian panjang ini, publik Jakarta kini hanya bisa menunggu satu hal, apakah palu paripurna akan berpihak pada hak atas kesehatan, atau justru mengukuhkan kekecewaan sejarah yang kembali terulang. (her)







