INDOPOSCO.ID – Di balik lalu-lalang ribuan truk batu bara yang setiap hari melintasi jalanan Sumatera Selatan (Sumsel), terdapat dinamika bisnis yang sangat dipengaruhi oleh faktor global, kebijakan pemerintah, hingga psikologi pasar. Hal inilah yang dirasakan PT Titan Infra Sejahtera, salah satu pemain utama di sektor logistik dan infrastruktur batu bara di Sumsel.
Sejak 2017, PT Titan Infra Sejahtera mengelola rute transportasi batu bara sepanjang 118 kilometer yang melintasi Kabupaten Lahat, Muara Enim, hingga Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI). Namun, meski bergerak di sektor logistik, kinerja perusahaan ini tetap tak bisa dilepaskan dari naik-turunnya harga batu bara dunia.
Director External Relation and Compliance PT Titan Infra Sejahtera, Eddy Rizal Umar, menegaskan bahwa tantangan terbesar dalam bisnis logistik batu bara justru berasal dari faktor yang berada di luar kendali perusahaan.
“Challenge-nya itu harga batu bara. Kita itu nggak jualan batu bara, nggak dapat margin dari batu bara. Tapi kalau industri batu bara harga jualnya lagi merosot, mereka juga malas memproduksi,” ujar Eddy ditemui INDOPOSCO belum lama ini.
Menurut Eddy, ketika produksi batu bara menurun, kebutuhan jasa logistik otomatis ikut turun. Padahal, kebutuhan pasar bersifat sangat dinamis dan dipengaruhi banyak variabel.
“Kalau produksi turun, kebutuhan klien jadi turun juga. Karena kebutuhan itu kan statis. Kebutuhan ekspor misalnya, atau kebutuhan China import itu tergantung dari banyak hal,” jelasnya.
Ia memaparkan, permintaan dari China sebagai salah satu pasar Utama sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi domestik negara tersebut.
“Pertama dari perekonomian China sendiri. Kalau ekonominya lagi growth, industri lagi rajin, ya kebutuhannya banyak. Kedua tergantung dari produksi mereka juga. Kalau mereka genjot produksi, import-nya bisa slow,” kata Eddy.
Tak hanya itu, Edy menerangkan bahwa kebijakan pemerintah negara tujuan hingga isu geopolitik juga ikut memengaruhi pasar.
“Jadi memang tergantung government policy mereka juga. Gara-gara Donald Trump mau naikin tarif misalnya, terus industri-industri itu siap-siap, itu juga bisa bikin drop,” terangnya.
Eddy menyebut bisnis batu bara sangat dipengaruhi faktor psikologis. “Jadi, psikologis sekali. Variable-nya banyak,” tegasnya.
Di dalam negeri, tantangan juga datang dari meningkatnya biaya operasional dan regulasi. Penyedia jasa logistik menengah, menurut Eddy, ikut terdampak kenaikan biaya izin usaha pertambangan.
“Itu salah satu faktor yang membuat cost di izin usaha pertambangan itu naik. Jadi itu salah satu faktor yang bikin discourage orang untuk menggenjot volume,” ungkapnya.
Belum lagi kebijakan energi dan keuangan yang menambah beban pelaku usaha. “B40 dan B50 (kebijakan mandatori campuran biodiesel yang diterapkan pemerintah). Habis itu tahun kemarin ada dana hasil ekspor yang harus di-hold. Hold-nya bukan sebulan, bukan tiga bulan, tapi setahun. Bukan 30 persen, tapi 100 persen. Nah itu kan bikin orang berhitung,” kata Eddy.
Meski begitu, Eddy menegaskan bahwa para pelaku usaha tidak serta-merta berhenti total. “Bukannya stop, tapi tetap jalan dan berhitung,” ucapnya.
Kondisi batu bara Sumsel yang didominasi kalori sedang dan rendah juga membuat sektor ini semakin sensitif terhadap penurunan harga.
“Sumsel itu batu baranya kalori sedang sama kalori rendah. Kalau di Muara Enim, di Lahat itu banyak yang kalori sedang. Sedikit yang tinggi. Kalau di PALI, karena dekat sungai, banyak yang kalori rendah,” jelas Eddy.
Saat harga global melemah, batu bara berkalori rendah menjadi yang pertama terdampak. “Kalau harga lagi turun, ya kalori rendah dulu yang lebih gampang stop. Ongkos logistik kan enggak turun. Ongkos bensin enggak turun, yang punya truk bayar leasing enggak turun,” ujarnya.
Namun, ketika harga masih berada di level tertentu, aktivitas tetap berjalan. “Kalau nilai kalori batu baranya (kalori dalam satuan kcal/kg) 4.200, 4.600, 5.000, ya pasti jalan,” katanya.
Dari sisi operasional, skala logistik yang dikelola Titan terbilang masif. Satu tongkang mampu mengangkut sekitar 8.000 metrik ton batu bara, yang setara hampir 300 truk berkapasitas 30 ton.
“Satu tongkang hampir 300 truk. Kita satu hari bisa 7 sampai 9 tongkang, bahkan tahun lalu per harinya mencapai 12 tongkang,” jelas Eddy.
Artinya, sekitar 2.500 truk melintas setiap hari di jalur yang dikelola Titan. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.200 truk berada langsung di bawah manajemen Titan. “Yang di-manage Titan itu truk punya klien Titan dan langsung dititipkan ke Titan,” tutupnya.
Di tengah fluktuasi harga, tekanan kebijakan, dan biaya yang tak kunjung turun, bisnis logistik batu bara tetap bergerak di antara perhitungan dan kehati-hatian. Sebab, di balik setiap tongkang yang berlayar, ada keputusan ekonomi besar yang harus diambil, bukan hanya soal jalan atau berhenti, tetapi soal bertahan di tengah ketidakpastian. (her)









