INDOPOSCO.ID – Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Ismail Rumadan menegaskan, bahwa dunia kini bergerak terlalu cepat dalam membangun mesin cerdas, namun terlalu lambat dalam membentuk manusia bijak.
“Kita telah membangun AI (Artificial Intelligence) yang bisa menulis puisi dan menggantikan guru, tapi tak lagi mampu membedakan mana yang benar dan mana yang sekadar viral. Ini bukan kemajuan, ini kehilangan arah,” ujar Ismail dalam keterangan, Senin (8/12/2025).
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini melalui pendekatan filsafat teknologi menawarkan kritik terhadap pola pembangunan digital yang dinilai hanya mengejar inovasi teknis tanpa memperkuat fondasi moral.
“Judul ‘Teknologi Tanpa Tuhan’ dipilih untuk memancing kesadaran, bahwa kemajuan ilmiah tanpa bimbingan nilai dapat membawa manusia pada disorientasi,” terangnya.
Di tempat yang sama, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Asep Kamaludin menilai buku ini sebagai ajakan untuk kembali pada etika dasar manusia. Ia menyamakan pengalaman membaca buku tersebut dengan “menyelami Al-Ghazali di era algoritma”.
“Ini suatu panggilan untuk memastikan bahwa koneksi manusia dengan Tuhan tidak terputus, bahkan di tengah hiruk pikuk inovasi digital,” ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan Ketua Pemuda ICMI Bali, Muhammad Zainal Abidin. Ia menyebut buku ini sebagai “bom intelektual” yang mengganggu zona nyaman berpikir publik.
Zainal mengatakan, teknologi hari ini berkembang pesat, sementara inovasi spiritual stagnan. Menurutnya, sains dan agama bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan sekutu dalam membimbing peradaban.
Sebelumnya, di tengah laju pesat kecerdasan buatan dan transformasi digital, buku berjudul “Teknologi Tanpa Tuhan” karya Dr. Ismail Rumadan hadir sebagai kritik tajam dan refleksi mendalam terhadap perkembangan teknologi yang dinilai makin kehilangan arah.
Peluncuran dan bedah buku yang digelar dalam rangkaian Silaturahmi Nasional (Silaknas) ICMI ini langsung menyedot perhatian kalangan akademisi, anak muda, dan pemikir muslim yang resah terhadap masa depan etika teknologi.
Buku ini menyoroti risiko yang muncul dalam ekosistem digital, mulai dari bias algoritma, penyebaran hoaks, krisis identitas digital, hingga lahirnya generasi yang lebih percaya pada validasi mesin daripada kebijaksanaan manusia.
Buku ini menegaskan kembali konsep keseimbangan Iman dan Taqwa (Imtaq) dan Iman dan Teknologi (Imtek) yang diwariskan Bacharuddin Jusuf Habibie, bahwa ilmu pengetahuan harus tumbuh seiring dengan keimanan. (nas)









