INDOPOSCO.ID – Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait tingkat toksisitas rokok elektrik alias vape yang diklaim lebih rendah dibanding rokok konvensional menuai kritik tajam. Temuan yang disebut sebagai penelitian pertama di Indonesia itu justru dinilai cacat metodologi, bermasalah secara etika, dan berpotensi menyesatkan publik.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi menilai bahwa penelitian BRIN tersebut tidak hanya lemah secara ilmiah, tetapi juga mencerminkan konflik kepentingan yang serius.
“Sekilas hasil penelitian ini tampak ilmiah karena dilakukan BRIN, lembaga riset negara. Tapi jika ditelisik lebih dalam, riset ini penuh cacat, bias, dan berkarakter junk science (penelitian melibatkan pihak berkepentingan). Sangat disesalkan lembaga sekelas BRIN melakukan penelitian yang bertendensi pesanan, ini memalukan,” ujar Tulus melalui gawai, Jumat (5/12/2025).
Menurut Tulus, penelitian itu melibatkan Aliansi Vaper Indonesia sebagai pihak kedua. Keterlibatan kelompok yang memiliki kepentingan langsung terhadap produk yang diteliti dinilai melanggar etika penelitian kesehatan.
“Ketika penelitian melibatkan pihak yang berkepentingan, objektivitasnya runtuh. Ini jelas penelitian pesanan. Meminjam istilah almarhum Gus Dur, BRIN telah menjadi ‘tukang’ dalam penelitian ini,” tegasnya.
Ia menilai langkah BRIN bukan hanya tidak etis, tetapi mengabaikan mandat konstitusional lembaga riset pemerintah untuk melindungi masyarakat melalui sains yang independen.
Tulus mengutip data penelitian Departemen Pulmonologi FKU/RS Persahabatan yang menunjukkan temuan berbeda dengan klaim BRIN. Pengguna vape harian memiliki kadar kotinin urin 276,1 ng/mL, lebih tinggi dibanding perokok konvensional lima batang per hari yang hanya 223,5 ng/mL.
“Ini artinya paparan nikotin pengguna vape justru lebih besar. Risiko adiksi, penyakit vaskular, dan gangguan kardiovaskular meningkat, bukan menurun,” ujarnya.
Survei RSUP Persahabatan tahun 2018 menunjukkan bahwa 76,5% pengguna vape laki-laki mengalami ketergantungan nikotin, memperkuat kesimpulan bahwa vape bukan produk yang aman.
Ahli paru, Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), juga mengkritik aspek metodologi riset BRIN. Ia menilai penelitian itu tidak memasukkan nikotin dalam analisis, padahal nikotin merupakan komponen utama yang memicu adiksi dan penyakit serius.
“Tanpa memasukkan nikotin, mustahil memberi kesimpulan bahwa vape lebih aman dari rokok,” tegasnya.
Ruang Untuk Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) menilai penelitian BRIN memiliki kelemahan mendasar. Jumlah sampel sangat kecil—hanya 60 produk—padahal ada ribuan produk vape yang beredar.
Selain itu, penelitian hanya mengukur 9 senyawa berbahaya, sementara riset lain menemukan ratusan bahan kimia di aerosol vape, termasuk logam berat dari coil pemanas yang tidak ditemukan pada rokok konvensional.
“Peneliti sekelas BRIN seharusnya paham bahwa hasil riset harus menggambarkan kondisi penggunaan nyata. Tapi ketika di belakangnya ada industri, ya begini jadinya,” kata Tulus.
Tulus menegaskan bahwa publik, khususnya anak muda rentan disesatkan oleh narasi keamanan palsu. Penggunaan rokok elektrik di kalangan muda meningkat tajam dari 480 ribu orang (2011) menjadi 6,6 juta orang (2021).
Produk ini dipromosikan melalui influencer, kemasan modern, varian rasa yang menarik remaja, hingga konten digital. Penjualan di e-commerce pun dinilai longgar karena minim verifikasi usia.
“Apa yang terjadi kemudian? Anak muda justru menjadi double smoker, memakai vape sekaligus rokok konvensional. Riset BRIN justru memberi legitimasi palsu bagi industri untuk terus menjerat generasi muda,” pungkas Tulus.
Sebagai lembaga negara, BRIN diminta kembali pada peran fundamentalnya, yakni menghadirkan sains yang independen dan melindungi kepentingan publik, bukan industri.
“BRIN seharusnya berada di garis terdepan dalam menjaga kesehatan bangsa. Bukan malah menghasilkan kajian yang menyesatkan dan meracuni publik dengan informasi sampah,” tambah eks Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) itu. (her)









