INDOPOSCO.ID – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna pada, Selasa (18/11/2025).
Rapat Paripurna dipimpin langsung Ketua DPR RI Puan Maharani. Ia kemudian meminta persetujuan pengesahan RKUHAP menjadi UU.
“Tiba lah kita meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP, apakah dapat disetujui untuk menjadi Undang-Undang?” tanya Puan di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
“Setuju,” jawab peserta Rapat Paripurna dengan kompak.
Puan didampingi seluruh Wakil Ketua DPR yakni Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, Cucun Ahmad Syamsurijal dan Saan Mustopa.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhmam sempat menyampaikan laporan pembahasan RKUHAP. Dalam penyusunan KUHAP, Komisi III DPR RI berusaha untuk memenuhi meaningfull partiicipation atau partisipasi yang bermakna.
“Sejak Februari 2025, Komisi III DPR RI telah mengunggah naskah RUU KUHAP ke laman www.dpr.go.id dan melakukan pembahasan secara terbuka (Panja),” tutur Habiburokhman.
Komisi III DPR diklaimnya telah melaksamakam RDPU dengan 130 pihak dari sisi masyarakat, akademisi, advokat serta elemen penegak hukum. Kemudian, telah dilaksanakan kunjungan kerja ke Jawa Barat, DI Yogyakarta, Képuľauan Riau, Sumatera Utara Sumatera Selatan Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Jawa Timur, Gorontalo, Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Aceh, dan Nusa Tenggara Barat;
“Menerima masukan tertulis dari masyarakat dalam kurun waktu 4 bulan terhitung sejak 8 Juli 2025. Ubur ubur ikan lele, KUHAP baru kita sahkan le,” jelas Habiburokhman.
Adapun 14 substansi utama dalam RUU KUHAP yang telah dibawa ke rapat paripurna DPR RI seperti dilansir dari situs dpr.go.id yakni:
1. Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.
2. Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.
3. Penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.
4. Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana.
5. Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk hak atas bantuan hukum, peradilan yang adil, dan perlindungan terhadap ancaman atau kekerasan.
6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, termasuk kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.
7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.
8. Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk melakukan asesmen dan menyediakan sarana pemeriksaan yang ramah.
9. Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.
10. Perbaikan pengaturan tentang upaya paksa dengan memperkuat perlindungan HAM dan asas due process of law, termasuk pembatasan waktu dan kontrol yudisial oleh pengadilan.
11. Pengenalan mekanisme hukum baru, seperti pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman serta perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku korporasi.
12. Pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.
13. Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai hak korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur penegakan hukum.
14. Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel. (dan)









