INDOPOSCO.ID – Saya menunggu dokter di ruang Mas Olik dirawat. Sorenya saya harus meninggalkan Beijing. Ada yang harus saya bicarakan dengan dokter: wajah Mas Olik kian menghitam. Perutnya juga terus membesar. Napasnya terlihat sesak. Sedang transplant hatinya masih harus menunggu izin Konsil Kedokteran Pusat Tiongkok.
Ketika dokter tiba saya mengajaknyi bicara. Saya tidak perlu bicara bisik-bisik. Toh Mas Olik dan Nisa, istrinya, tidak paham yang saya bicarakan dalam bahasa Mandarin.
Yang penting ketika bicara saya tidak boleh terlihat sedang prihatin. Wajah saya harus tetap biasa saja. Tidak boleh ada ekspresi sedih.
Padahal, dalam hati, saya sangat khawatir. Jangan sampai Mas Olik meninggal sebelum sempat dilakukan transplant. Saya minta dokter benar-benar memperhatikan tiga hal itu: wajah yang menghitam, perut yang membesar, dan napas yang tersengal.
Sambil bicara saya melirik Mas Olik dan Nisa. Mereka tampak memperhatikan pembicaraan kami. Saya tersenyum kecil kepada mereka seolah ini pembicaraan biasa. Toh mereka tahu saya memang kenal baik dengan dokter yang cantiknyi 5i itu. Dia adalah ketua tim dokter saat dulu merawat saya di Tianjin.
Setelah dokter 5i keluar ruangan, saya berbohong kepada Mas Olik dan Nisa. “Tadi saya hanya pamit mau pulang dulu ke Indonesia. Lalu akan datang lagi kalau Mas Olik sudah dapat jadwal transplant,” kata saya.
Setelah itu dokter kembali ke ruang pasien kali ini dengan ”pasukan” yang lengkap. Dokter melakukan pemeriksaan ke pasien. Pun dokter anggota tim. Juga para perawat. Ada yang mengontrol botol infus di gantungannya lalu menambah satu botol lainnya. Ada yang memasang selang oksigen di lubang hidung Mas Olik.
Satu lagi yang harus selesai sebelum saya pulang: sewa apartemen. Janet bisa mencarikan. Tapi saya harus tahu lokasi dan kondisinya. Justin bisa membantu proses administrasinya. Juga membantu di mana bisa membeli perabotan apartemen.
Janet ternyata bisa mendapatkan apartemen persis di depan rumah sakit. Di seberang jalan. Hanya saja jalannya memang lebar sekali. Dua arah. Tidak masalah. Di dekat gerbang RS itu ada jembatan penyeberangan. Di situ ada lift. Tidak perlu naik tangga. Setelah menyeberang ada lift lagi untuk turun.
Kami pun ke kantor real estate di blok sebelahnya. Transaksi dilakukan. Saya putuskan sewa sekaligus tiga bulan. Saya ingin, setelah transplant kelak, Mas Olik jangan cepat-cepat pulang. Tinggal dulu di apartemen itu tiga bulan. Saya tidak ingin terjadi kegagalan akibat sembrono di perawatan pasca transplant.
Apartemen itu tiga kamar. Di lantai 4. Enak. Tidak terlalu tinggi. Saya sempat khawatir jangan-jangan dapat kamar di lantai 38. Posisi gedungnya pun yang paling depan. Di dalam kompleks itu ada sekitar 50 gedung tinggi yang tipe dan tingginya sama. Berarti ada sekitar 3.000 orang yang tinggal di satu ”RT” depan rumah sakit itu.
Rasanya tidak ada lagi yang dikhawatirkan dari Mas Olik. Tinggal hanya harus lebih sabar menunggu izin transplant.
Dua hari setelah tiba di Indonesia saya dapat kabar: cairan di perut Mas Olik dikeluarkan. Mas Olik merasa lebih enak enaknya orang sakit.
Wajahnya tetap menghitam tapi dokter mengatakan tidak perlu dikhawatirkan. Infus albumin akan dilakukan sampai saatnya transplant tiba.
Memang itulah salah satu tanda penderita sirosis: wajah berubah lebih hitam. Dan tetap hitam saat meninggal karena sirosis. Itu pernah jadi isu negatif saat cendekiawan Muslim Dr Nurcholish Majid meninggal. Wajahnyi hitam. Lalu sebagian penentang Cak Nur melontarkan isu: Cak Nur meninggal dengan wajah hitam karena dilaknat oleh Tuhan. Cak Nur adalah tokoh utama gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia perlunya sekularisasi dalam Islam.
Cak Nur sebenarnya sudah berhasil melakukan transplant. Di Guangzhou. Tapi gagal bertahan tidak lama setelah itu.
Di penantian itu Bu Lilik dan suami sudah kembali ke Beijing. Salah satu saudara Mas Olik juga datang. Mas Olik terus menelepon Roisul Abror untuk kembali menemaninya di Beijing. Tapi di Indonesia lagi musim kawinan. Abror sangat sibuk mengawinkan calon pengantin. Ia penghulu. Pegawai negeri. Tidak mudah ke luar negeri.
Dua minggu kemudian saya dapat kabar dari Janet: jadwal transplant sudah dekat. Saya pun bersiap kembali ke Beijing.
Tidak disangka izin dari Konsil Kedokteran pusat tidak jadi keluar hari itu. Saya paham. Beijing lagi punya hajat besar: parade militer terbesar dalam sejarahnya.
Saya pun harus cari kesibukan pengisi waktu. Saya pergi ke Changsha dua jam naik pesawat ke arah selatan. Ibarat Jakarta-Medan. Sudah lama saya ingin melihat pusat penelitian padi hibrida yang terkenal itu: Long Ping. Yang dianggap penyelamat kelaparan di Tiongkok. Yang penemunya, Prof Yuan Long Ping, dinominasikan untuk mendapat Nobel Perdamaian. Ia akhirnya mendapat penghargaan tertinggi negara sebagai ilmuwan terpenting Tiongkok.
Saya lihat di TV: Presiden Prabowo ke Beijing. Untuk hadir di parade militer itu. Kerusuhan di Jakarta memang sudah reda. Malamnya Prabowo langsung kembali ke Jakarta.
Dua hari kemudian izin transplant pun turun. Sudah takdir saya harus lebih banyak makan serba kambing.(Dahlan Iskan)







