INDOPOSCO.ID – Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri, menilai sistem pembayaran cepat BI Fast yang digagas Bank Indonesia (BI) masih memiliki celah besar, terutama dalam aspek perlindungan konsumen.
Menurut Deni, BI memegang peran ganda yang terlalu besar sebagai regulator sekaligus pengawas layanan BI Fast, namun justru lemah dalam memastikan keamanan dan hak-hak pengguna.
“Sebagai regulator, BI juga ikut mengawasi layanan BI Fast. Namun sayangnya, perlindungan konsumennya nol besar. Karena itu, perlu melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai lembaga yang nantinya dapat memberi perlindungan terhadap BI Fast di setiap layanan bank,” kata Deni di Jakarta, Senin (3/11/2025).
Deni mencermati, peran ganda BI dalam infrastruktur sistem pembayaran ritel nasional yang dirancang untuk transfer dana secara real-time, aman dan efisien, justru melemahkan perlindungan konsumen.
“Kalau kita bandingkan dengan sistem di Amerika Serikat (AS), selain Dewan Gubernur Federal Reserve, ada juga lembaga lain yang terlibat dalam pengawasan dan regulasi layanan pembayaran cepat di AS,” ujarnya.
Menurut Deni, keberadaan Biro Perlindungan Keuangan Konsumen atau Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) di AS sangat penting. Bersama Departemen Keuangan AS, kedua lembaga itu memastikan layanan pembayaran cepat mematuhi aturan dan melindungi kepentingan konsumen.
“Nah, Indonesia belum memiliki lembaga seperti CFPB. CFPB adalah lembaga pemerintah federal yang dibentuk untuk memastikan konsumen diperlakukan adil oleh bank, pemberi pinjaman, dan institusi keuangan lainnya,” jelasnya.
Deni menambahkan, CFPB bertanggung jawab melindungi konsumen dari praktik tidak adil, menyesatkan, atau penyalahgunaan dalam produk dan layanan keuangan, termasuk layanan pembayaran cepat.
“CFPB juga memberikan edukasi keuangan kepada publik, menampung pengaduan, serta menegakkan hukum perlindungan konsumen. Lembaga ini lahir dari Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act tahun 2010 sebagai respons atas krisis keuangan 2008,” paparnya.
Sejak berdiri, lanjut Deni, CFPB menjadi pemain kunci reformasi sektor keuangan, dengan tujuan mencegah krisis serupa di masa depan dan melindungi konsumen keuangan Amerika.
“Lembaga ini memiliki beberapa unit seperti penelitian, urusan masyarakat, pengaduan konsumen, pinjaman yang adil, hingga kantor peluang keuangan. Masing-masing punya peran spesifik dalam mendukung misi CFPB,” imbuhnya.
Lembaga seperti CFPB, kata Deni, wajib melapor secara berkala kepada Kongres AS tentang aktivitas dan tanggapan atas pengaduan konsumen, serta diaudit oleh Kantor Akuntan Umum (GAO) dan Inspektur Jenderal (OIG) untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
“Artinya, CFPB beroperasi secara transparan dan bertanggung jawab, memastikan kepentingan konsumen selalu menjadi prioritas utama,” tegas Deni.
Ia menilai, lembaga pengawas yang netral seperti CFPB dan Departemen Keuangan AS mampu memberikan penilaian objektif tanpa dipengaruhi kepentingan industri keuangan.
“Dengan adanya lembaga pengawas independen, kepercayaan publik terhadap sistem pembayaran bisa meningkat. Ini penting untuk mendorong adopsi pembayaran digital,” ujarnya.
Namun, Deni mengingatkan, pembentukan lembaga pengawas yang netral juga memiliki tantangan, seperti menentukan struktur dan mekanisme pengawasan yang tepat serta memastikan ketersediaan sumber daya dan keahlian yang memadai.
“Selain itu, perlu keseimbangan antara pengawasan yang ketat dan ruang bagi inovasi di industri pembayaran. Belajar dari AS, kekurangan utama BI Fast di Indonesia adalah belum adanya CFPB dan tidak dilibatkannya Kementerian Keuangan dalam perlindungan konsumen,” pungkas Deni. (dil)
			
			









