INDOPOSCO.ID – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti, tiga masalah utama yang menjadi bukti bahwa arah pendidikan Indonesia telah kehilangan dasar konstitusionalnya selama setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pertama, anggaran pendidikan digerogoti program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut perhitungan JPPI, anggaran pendidikan hanya tersisa 14 persen dari total APBN 2026, padahal konstitusi dengan tegas mengamanatkan minimal 20 persen.
“Ini pelanggaran serius terhadap ayat 4 Pasal 31 UUD 1945,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangannya, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Pemangkasan jatah anggaran pendidikan untuk MBG ini juga sudah dilakukan di tahun 2025 ini. Ironisnya, meskipun serapannya buruk, bukannya dievaluasi dan dikurangi jatahnya, pemerintah justru menambah alokasi MBG berlipat ganda pada APBN 2026, totalnya mencapai 335 triliun.
“Ini menunjukkan bahwa kebijakan MBG tidak berbasis kebutuhan dan efektivitas, tetapi berbasis kepentingan politik pencitraan,” kritik Ubaid.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi diabaikan menyebabkan jutaan anak tidak sekolah. Pemerintah hingga kini belum melaksanakan putusan MK (Nomor 3/PUU-XXII/2024) yang memerintahkan implementasi pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Saat ini, masih ada 4,1 juta anak tidak sekolah, dan mayoritas dikarenakan faktor ekonomi. “Empat juta lebih anak Indonesia hari ini tidak sekolah karena negara gagal menunaikan kewajibannya. Pemerintah boleh bicara makan gratis, tapi kalau anaknya tidak sekolah, itu artinya negara sedang memberi makan kebodohan,” ujar Ubaid.
Ketiga, kebijakan pendidikan makin diskriminatif dan jauh dari prinsip inklusif dan berkeadilan. Alih-alih memperkuat pendidikan inklusif, pemerintah justru menciptakan model pendidikan yang memisahkan berdasarkan kelas sosial.
Program seperti Sekolah Rakyat untuk anak miskin dan Sekolah Garuda untuk kelompok unggulan menciptakan segregasi baru dalam pendidikan nasional.
Perhitungan JPPI menunjukkan bahwa Sekolah Rakyat hanya mampu menampung sekitar 0,3 persen anak putus sekolah karena faktor ekonomi. Ini bukan solusi, melainkan simbol kegagalan negara dalam menjamin akses pendidikan bagi semua. “Kebijakan ini seolah berpihak pada rakyat kecil, tapi sesungguhnya menstigma kemiskinan,” imbuh Ubaid. (dan)








