INDOPOSCO.ID – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kian menegaskan arah besar transisi energi nasional dengan serangkaian capaian di sektor kelistrikan dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Dalam beberapa bulan terakhir pemerintah meresmikan puluhan proyek pembangkit EBT termasuk 55 proyek yang diresmikan serentak di 15 provinsi sebagai bagian dari upaya memperluas pasokan listrik hijau ke pelosok negeri.
Peresmian ini menambah kapasitas pembangkit terbarukan dan program akses listrik desa (Lisdes), sekaligus merepresentasikan
investasi ratusan triliun rupiah yang mulai mengalir ke proyek EBT.
Angka-angka perencanaan menyokong ambisi tersebut. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 memproyeksikan penambahan kapasitas baru sebesar
69,5 GW, di mana sekitar 42,6 GW (sekitar 61% dari total tambahan) direncanakan berasal dari energi terbarukan, plus 10,3 GW untuk sistem penyimpanan energi—langkah teknis krusial untuk menanggulangi variabilitas PLTS dan PLTB. Implementasi rencana ini diperkirakan memerlukan investasi besar dan kerja lintas sektor agar target dapat direalisasikan.
Potensi alamiah Indonesia dipakai sebagai alasan optimis: Kementerian ESDM mencatat potensi teknis EBT mencapai 3.686 GW, dengan potensi surya sangat dominan
(estimasi beberapa terawatt), membuka peluang besar bagi pengembangan PLTS atap, terapung, dan ladang surya skala besar.
Sementara realisasi bauran EBT dalam sistem kelistrikan nasional telah menanjak ke kisaran ~14% pada periode terakhir yang dilaporkan, menunjukkan kemajuan namun sekaligus mengingatkan bahwa masih banyak celah yang harus ditutup untuk mencapai target 100% listrik dari EBT.
Para pengamat menyambut capaian ini dengan optimisme namun juga kehati-hatian. Fabby Tumiwa, CEO Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa
target ambisius untuk menggerakkan seluruh pasokan listrik ke sumber terbarukan dalam dekade mendatang adalah “sinyal kuat” bahwa bangsa ini serius melakukan transisi, namun memerlukan peta jalan kebijakan yang konkret, insentif investasi yang jelas, dan percepatan pembangunan infrastruktur transmisi serta storage. IESR menegaskan bahwa tanpa langkah- langkah praktis tersebut, target ambisius berisiko menjadi janji retorik.
Dari sisi pemerintah, capaian fisik dan anggaran menjadi poin kebanggaan nasional: selain peresmian proyek bernilai puluhan triliun rupiah, RAPBN dialokasikan dukungan fiskal untuk mempercepat proyek PLTS terapung, panas bumi, hingga pengembangan jaringan transmisi antarwilayah. Presiden Prabowo sendiri menekankan pentingnya kedaulatan energi, bahwa listrik bersih harus menjangkau desa dan pulau terpencil dan menjadi bagian dari strategi nasional menuju ketahanan ekonomi dan lingkungan.
Namun realitas teknis dan ekonomi tetap menuntut kewaspadaan. Meski RUPTL menempatkan EBT sebagai mayoritas dari penambahan kapasitas, beberapa analisis
independen memperingatkan bahwa pipeline proyek fosil masih ada dan bahwa pemanfaatan potensi EBT saat ini baru sebagian kecil dari angka teknis yang tersedia—menunjukkan kebutuhan besar akan investasi, perizinan yang dipermudah, dan model bisnis yang menjamin bankabilitas proyek. Selain itu, pembangunan infrastruktur transmisi dan kapasitas penyimpanan energi masih menjadi bottleneck yang harus diatasi agar pasokan terbarukan dapat distabilkan.
Presiden Prabowo telah menyalakan momentum nyata dalam peralihan dari “buah batu bara” ke “sinar matahari” lewat peresmian proyek, alokasi anggaran, dan RUPTL yang
menempatkan EBT sebagai tulang punggung penambahan kapasitas. Data potensi dan rencana ambisius memberi dasar optimis; kritik dari lembaga riset mengingatkan perlunya detail implementasi. Untuk benar-benar mengubah ambisi jadi kenyataan, Indonesia perlu mempercepat pembangunan jaringan transmisi dan storage, menyederhanakan mekanisme investasi, serta memastikan kebijakan jangka panjang yang konsisten, barulah mimpi 100% listrik terbarukan menjadi warisan yang membanggakan bagi bangsa. (ibs)








