Nusantara

Budidaya Ikan Sistem KJA Sukses Majukan Wilayah dan Masyarakat Danau Toba

INDOPOSCO.IDBudidaya ikan dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba, Sumatera Utara (Sumut) sukses memajukan wilayah dan memakmurkan masyarakat dengan membuka lapangan kerja di sektor perikanan dan jasa pendukung lainnya.

Penelitian Pusat Kajian Resolusi Konflik dan Pemberdayaan (CARE) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2017-2021 menyebut, KJA menjadi usaha baru yang menjanjikan sebagai sumber pendapatan untuk masyarakat. Pada tahun 2020 nilai ekonomi KJA di Danau Toba sebesar Rp3,5 triliun per tahun dan mendatangkan devisa USD78,44 juta.

Ketua Divisi Kemitraan CARE IPB, Dahri Tanjung mengatakan, Desa Haranggaol di Kabupaten Simalungun sebagai salah satu sentra KJA Toba menjadi desa termakmur se-Sumut. KJA mulai masuk di Haranggaol pada tahun 1990 saat aktivitas perdagangan turun.

“Pemerintah memperkenalkan KJA di kawasan Danau Toba sebagai usaha masyarakat seiring berkembangnya kegiatan KJA di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Masyarakat mengadopsi dengan baik budidaya KJA di Haranggaol sehingga menyebar ke semua kabupaten di Danau Toba,” ujarnya, dalam keterangannya, Senin (6/12/2021).

Penelitian CARE IPB 2021 mencatat, saat ini jumlah KJA masyarakat sebanyak 10.574 unit dan KJA perusahaan swasta 602 unit. Produksi ikan KJA Danau Toba pada 2020 mencapai 74.485 ton dengan rincian 32.992,4 KJA masyarakat dan 41.526,6 ton KJA swasta.

KJA Toba berefek ganda pada ekonomi daerah dan nasional lewat pembukaan dan perluasan lapangan kerja serta mendatangkan devisa bagi negara, kontribusi PDRB daerah dan konstribusi pajak. Setelah masuknya KJA perusahaan swasta yang berorientasi ekspor, maka usaha lain seperti pembenihan ikan, kuliner, pengolahan, jasa dan transportasi, komunikasi, serta perdagangan lokal dan global semakin berkembang.

Merujuk Data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Sumut 2020, nilai ekonomi KJA Toba sebesar Rp3,5 triliun setahun dengan serapan tenaga kerja sekitar 12.300 orang. Nilai ekonomi itu meliputi benih Rp0,2 triliun, pakan Rp1,3 triliun dan hasil produksi ikan Rp2 triliun. Nilai tersebut di luar distribusi logistik, komunikasi, kuliner ikan dan usaha terkait lainnya.

“Perkembangan bisnisnya meningkat setiap tahun 10-15 persen. Tapi di 2021 turun sedikit karena KJA dikurangi sekitar 500 unit,” kata Ketua GPMT Sumut, Satyagraha.

Budidaya KJA Toba ikut mendorong tumbuhnya usaha pembenihan di masyarakat. Usaha ini marak di Simalungun, Deli Serdang dan Samosir dengan kebutuhan benih 10-15 juta ekor per bulan. Bahkan, pembudidaya sampai mendatangkan benih nila dari Sumatera Barat (Sumbar).

Ketua Asosiasi KJA Silahisabungan, Rudi H Sidebang mengatakan, Kabupaten Dairi mengalami penurunan di tiga bulan awal pandemi Covid-19.

“Tapi dari situ normal lagi sampai sekarang,” ucapnya.

Chandra Putra, salah seorang pemilik KJA di Haranggaol mengatakan, budidaya perikanan lebih stabil dan tidak terdampak di masa pandemi. Chandra mengaku memulai budidaya KJA pada 2011 karena gaji sebagai karyawan swasta tidak mencukupi.

“Ketergantungan terhadap KJA sangat luar biasa. Mata pencarian lain tidak ada karena daerah Haranggaol bertebing-tebing. Sangat makmur (budidaya KJA). Kalau tidak makmur, tidak akan dilanjutkan,” tuturnya.

Sementara, Ketua Tim Peneliti CARE IPB, M. Parulian Hutagaol menegaskan, industri KJA Toba perlu dipertahankan karena memberikan kontribusi terbesar pada perekonomian kawasan Danau Toba, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta sebagai pondasi keberagaman basis perekonomian masyarakat Toba.

“Kalau kita mau bangun perekonomian yang tangguh, maka basisnya harus beragam industri supaya mampu menyerap guncangan internal dan eksternal. Kita tidak mungkin meletakkan perekonomian Danau Toba hanya pada satu industri, tidak mungkin,” pungkasnya.(arm)

Back to top button