Bipih dan Kuota Haji Bukan Bagian dari Keuangan Negara, Begini Penjelasan Pakar UI

INDOPOSCO.ID – Pakar Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Nugraha Simatupang, menyatakan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan kuota haji tidak termasuk keuangan negara. Hal itu disampaikan untuk menjawab polemik mengenai status hukum Bipih dan kuota dalam perkembangan sekarang ini.

Menurut Dian, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Bipih dan Bipih Khusus merupakan biaya yang dibayarkan langsung oleh calon jemaah haji. Karena tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana tersebut tidak termasuk penerimaan negara, baik dalam bentuk pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Bipih sepenuhnya berasal dari jemaah, bukan dari APBN, sehingga tidak dapat menjadi keuangan negara, karena penggunaan dan pemanfaatan sepenuhnya bagi jamaah haji,” ujar Dian di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Dian menyatakan juga bahwa Bipih berstatus sebagai dana titipan jemaah haji, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Dalam penjelasan pasal itu disebutkan, dana titipan jemaah haji tidak dicatat dalam APBN.

“Artinya, dana tersebut tidak pernah masuk dalam kas negara dan tidak tercatat sebagai penerimaan maupun pengeluaran negara,” katanya.

Ia menilai tidak tepat jika dana Bipih yang belum digunakan dianggap berpotensi menimbulkan kerugian negara. Ia menegaskan, apabila jemaah batal berangkat, dana Bipih wajib dikembalikan sepenuhnya tanpa potongan.

“Tidak ada kerugian negara di sana karena seluruh dana adalah milik jemaah, bukan milik pemerintah dan tidak menjadi milik negara ketika jemaah batal berangkat,” tegasnya.

Selain soal dana, ia menyoroti status kuota haji yang kerap disalahpahami sebagai hak negara. Dia menegaskan, kuota haji tidak dapat dinilai dengan uang dan bukan bentuk penerimaan negara.

“Kuota haji adalah hak administratif bagi jemaah, bukan hak fiskal negara. Kuota tidak menghasilkan pendapatan atau keuntungan negara karena sifatnya bukan untuk mencari keuntungan,” jelasnya.

Menurut Dian, penetapan kuota haji merupakan kewenangan administratif Menteri Agama, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Penetapan itu didasarkan pada kondisi faktual dan prinsip kemanfaatan bagi jemaah.

“Jika ada keberatan atau dugaan pelampauan wewenang, penyelesaiannya harus melalui mekanisme hukum seperti Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK), bukan asumtif,” tegasnya.

Ia menilai pandangan yang menyebut kuota haji bernilai uang bagi negara merupakan kekeliruan konseptual. “Kuota bukan pajak, bukan PNBP, dan tidak menambah kas negara dan penerimaan negara. Penyelenggaraan haji adalah kegiatan pelayanan publik yang bersifat nirlaba,” ungkap Dian.

Lebih lanjut, Dian menyatakan hingga kini tidak ada dokumen resmi pemerintah yang mencatat Bipih sebagai penerimaan negara. “Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pernah menyatakan adanya kerugian negara dari dana Bipih, karena dana tersebut tidak pernah menjadi bagian dari APBN,” terangnya.

Ia menjelaskan penyelenggaraan ibadah haji harus dipahami sebagai pelayanan keagamaan, bukan kegiatan ekonomi atau fiskal. “Haji adalah ibadah, bukan instrumen pendapatan negara,” tandasnya.

Menurut Dian, wacana hukum mengenai Bipih dan kuota seharusnya diarahkan pada penguatan tata kelola dan transparansi bagi kemaslahatan jemaah.

Dian menegaskan dua hal pokok: pertama, Bipih dan Bipih Khusus bukan bagian dari keuangan negara karena sepenuhnya bersumber dari jemaah dan digunakan untuk kepentingan jemaah; kedua, kuota haji adalah keputusan administratif yang tidak dapat dinilai dengan uang.

“Prinsip dasarnya jelas, ini soal amanah dan pelayanan, bukan soal penerimaan negara,” ujarnya. (nas)

Exit mobile version