INDOPOSCO.ID – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Provinsi Jakarta, KH. Nurhadi, menekankan pentingnya tata kelola air di Jakarta yang tidak hanya menjadi urusan institusi, tetapi juga memiliki dimensi teologis. Hal itu disampaikan dalam lokakarya yang membahas permasalahan air di ibu kota.
“Dari kecil kita diajarkan oleh guru kita bahwa bumi ini dua pertiga air, satu pertiga daratan. Lalu tempat air berkurang karena diurut untuk menjadi daratan. Pertanyaannya, jumlah airnya tetap sama atau berkurang? Jumlah air tetap sama, dua pertiga, tetapi tempatnya air menjadi berkurang. Alhasil, air akan mencari tempat. Jadi wajar kalau Jakarta selalu berpersoalan dengan air,” ujar Nurhadi dalam lokakarya dengan tema “Menakar Masa Depan Air di Jakarta, Akankah Menjadi Air Mata?” di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, tanggung jawab menjaga keberlanjutan air di Jakarta bukan hanya milik institusi seperti PAM Jaya, melainkan juga tanggung jawab teologis. “Ini bukan cuma tanggung jawab institusi, tapi ini tanggung jawab teologis. Ada dimensi teologis yang tidak boleh kita abaikan,” katanya.
Nurhadi menekankan tiga basis Muhammadiyah dalam menghadapi persoalan, yakni pendekatan bayani, pendekatan burhani, dan pendekatan irfani.
Pendekatan bayani bersifat tekstual dan berbasis ajaran agama. “Misalnya Quran Surat Al-Anbiya ayat 30. Pendekatannya bayani, teksual. Wa’anzala menunjukkan totalitas. Itu adalah hak otoritas Tuhan, bicara air. Dengan manusia diberikan kesempatan untuk mengelolanya, tanpa menghilangkan bahwa Allah lah yang Maha Kuasa,” jelasnya.
Sedangkan pendekatan burhani berbasis sains dan teknologi, pendekatan ini bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Nurhadi menekankan pentingnya inovasi dan kapitalisasi, termasuk kemungkinan IPO, sebagai upaya mengoptimalkan pengelolaan air. “Dengan teknologi yang ditingkatkan, itu akan membawa kemakmuran. Bukan cuma buat direktur operasional dan komisaris, tapi juga buat rakyat di Jakarta dengan harga-harga yang kompetitif,” katanya.
Sementara untuk pendekatan irfani itu bersifat tasawuf, dimana pendekatan ini menekankan aktualisasi potensi dan manajemen yang tepat.
“Dalam bahasa Ghozali, ada istilah tajali, yaitu bagaimana potensi dimaksimalkan. Kemudian nizam, keteraturan pola tatanan, menjadi penting. Al-idharah, manajemennya, harus diperbaiki, diperbarui, dan di-upgrade. Semua ini dilakukan agar memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada umat,” jelasnya.
Nurhadi menutup pemaparan dengan menekankan prinsip utama dalam kebijakan publik, yaitu kemaslahatan rakyat. “Dalam kaedah, ketika bicara tentang kekuasaan pemerintahan, kebijakan pemimpin harus berbasis kemaslahatan rakyat, bukan kemaslahatan pemegang kuasa,” tutupnya. (her)