Dinasti Korupsi, Pengamat Desak Pembuatan UU Pemberian Sanksi Parpol Dilarang Kontestasi Politik

INDOPOSCO.ID – Masyarakat kembali dipertontonkan dengan prilaku korupsi oleh oknum pejabat. Tidak hanya itu, kini Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex harus mengikuti langkah ayahnya, yakni Alek Noerdin eks Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), yang lebih awal ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anak dan Ayah itu terbukti melanggar hukum demi keuntungan pribadi. Kejadian ini menjadi cerminan buruk bagi sistem demokrasi yang melahirkan dinasti politik koruptif.
Pengamat Hukum, Emrus Sihombing mengatakan, korupsi yang dilakukan oleh pejabat di Indonesia, tidak akan berhenti dan akan terus dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sepanjang belum ada perbaikan sistem rekrutmen kader partai politik (Parpol) dan sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Ia menyebutkan, tidak hanya terjadi di Sumsel dinasti politik terkena OTT, di daerah lain juga ada. Berdasarkan analisisnya, prilaku korupsi yang dilakukan Anak dan Ayah itu, bisa jadi ada transfer pengalaman kiat melakukan tindak pidana korupsi.
“Saya berhipotesa dengan dinasti politik, berarti ada transfer pengamalaman dari kekerabatannya yang lebih dulu menjabat terlebih dulu. Ini harus diperbaiki,” katanya kepada Indoposco, Minggu (17/10/2021).
Ia menerangkan, prilaku koruptif terjadi lantaran sistem politik yang pragmatis. Majunya seorang calon pejabat yang diusung Parpol, bukan dilatarbelakangi idealisme dan sokongan dari masyarakat. Melainkan difaktori oleh hegemoni politik, kekuatan logistik untuk berkuasa.
“Artinya tidak ada makan siang yang gratis. Tumbuhnya hal seperti ini karena politik pragmatis. Mereka maju bukan didukung oleh idelaisme, didukung oleh rakyat untuk maju. Ini suatu contoh buruk yang diperlihatkan oleh kekerabatan di daerah tertentu terkena OTT,” terangnya.
Emrus berujar, budaya politik saat ini kebanyakan bermodalkan kekuatan kekuasaan kerabat atau orangtua yang menjadi pejabat. Sangat jarang pemimpin yang lahir dari permintaan masyarakat.
“Ada ‘penyampaian pengalaman dari oranrtuanya atau kerabat bagaimana melakukan politik pragmatis’. Sehingga biaya politik sangat mahal sekali. Menjadi pemimpinan faktor ayahnya, tiba-tiba muncul dan menang pula. Ini jadi suatu hal evaluasi,” ujarnya.
Ia berpendapat, Parpol harus transparan melakukan kaderisasi dalam rangka mempersiapkan kepemimpinan. Sebab sejauh ini, orang masuk partai hanya untuk mendapatkan kekuasaan, tujuan utama bukan untuk demi kepentingan masyarakat.
“Artinya masuk partai dengan tujuan karena ingin kedudukan, bukan panggilan untuk rakyat. Di beberapa daerah, ketika bapaknya jadi pejabat, anaknya muncul, padahal belum pernah muncul di tengah masyarakat, bekerja membantu masyarakat. Tetapi karena kekuatan politik, muncul begitu saja,” paparnya.
Ia menegaskan, untuk membenahi sistem demokrasi, perlu ada Undang-undang (UU) yang mengatur sanksi bagi Parpol. Misalnya, jika ada kepala daerah korupsi, maka Parpol tidak boleh mengikuti Pilkada di daerah tersebut.
Menurutnya, hal untuk memberikan tanggung jawab Parpol dalam melahirkan kepemimpinan yang jujur dan bersih dari korupsi. Mengingat sampai hari ini, jika ada kader yang korupsi, pimpinan Parpol selalu berdalih oknum.
“Kalau isi UU, Ketika kader politik melakukan korupsi di tingkat kabupaten, maka partai itu ikut Pilkada di situ. Itu salah satu bentuk tanggung jawab agar parpol tanggung jawab. Karena kalau ada kader korupsi, acap sekali bilang itu oknum, seolah lepas tanggung jawab. Tapi ketika kader berprestasi itu bukan oknum, tapi kader kami,” tegasnya.
Di sisi lain, Emrus meyakini masih ada kader Parpol yang masih memiliki idealis dan jujur. Namun kader itu biasanya kalah dengan kekuasaan yang melekat pada pimpinan partai.
“Dalam partai ada yang idealis dan jujur, saya percaya itu. Tetapi mereka tidak akan muncul karen bersaing dengan kemampuan lobby politik, logistik,” pungkasnya. (son)