Dinilai Samar, 18 Akademisi Hukum Desak MK Batasi Interpretasi Pasal 21 UU Tipikor

INDOPOSCO.ID – Sebanyak 18 akademisi hukum pidana dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menyerahkan dokumen amicus curiae kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 163/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Hasto Kristiyanto.

Perkara ini menguji ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengatur tindak pidana obstruction of justice (menghalangi proses peradilan).

Para akademisi menilai bahwa Pasal 21 mengandung norma yang samar dan tidak jelas, bertentangan dengan asas legalitas, serta berpotensi menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan.

Dalam dokumen amicus curiae yang cukup tebal, mereka menyoroti penggunaan frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung” yang dianggap tidak memiliki batasan hukum yang tegas. Ketidakjelasan ini bertentangan dengan prinsip lex certa dan lex stricta yang menjadi dasar hukum pidana.

Profesor Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura menjelaskan, “Tidak ada parameter pasti mengenai apa yang dimaksud dengan ‘tidak langsung’. Hal ini memungkinkan aparat penegak hukum untuk memberikan tafsir bebas, termasuk terhadap tindakan yang sebenarnya sah seperti pengajuan praperadilan, pemberian nasihat oleh advokat, atau bahkan sikap diam.”

Dokumen ini sudah diserahkan ke MK pada Kamis, 9 Oktober 2025. Para akademisi menegaskan bahwa tafsir yang terlalu luas melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi dan dapat menimbulkan over-kriminalisasi.

Mereka juga mengkritisi tidak adanya unsur “melawan hukum” dalam pasal tersebut, sehingga tindakan legal seperti pembelaan diri dalam proses peradilan bisa saja dianggap sebagai penghalang penyidikan.

Selain itu, mereka mempertanyakan proporsionalitas ancaman pidana yang diatur.

“Pasal 21 sebenarnya bukan merupakan tindak pidana korupsi utama, melainkan delik umum. Namun ancaman pidananya justru paling berat, sehingga hal ini tidak seimbang,” tambah Deni.

Akademisi yang terdiri dari profesor dan doktor, termasuk Prof. Tongat dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. Mahmutarom HR dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), dan Prof. Rena Yulia dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), meminta agar MK memberikan tafsir yang membatasi ruang lingkup pasal tersebut.

Mereka mengusulkan agar Pasal 21 hanya diberlakukan pada perbuatan yang dilakukan dengan niat jahat dan melalui tindakan kekerasan, intimidasi, atau pemberian keuntungan yang tidak semestinya, sesuai dengan Pasal 25 Konvensi PBB Antikorupsi.

“Upaya pemberantasan korupsi harus berjalan dalam bingkai hukum yang jelas, adil, dan proporsional. Norma yang tidak jelas justru bisa melemahkan keadilan dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan,” tulis para akademisi dalam dokumen amicus curiae tersebut.

Mereka juga mengingatkan bahwa bahasa hukum tidak pernah netral, dan ketidakjelasan rumusan dapat menyebabkan penafsiran yang sepihak oleh aparat penegak hukum seperti dilansir Antara.

“Ketika aparat penegak hukum memegang posisi dominan dalam menafsirkan norma pidana, risiko kriminalisasi yang berlebihan menjadi sangat besar,” tulis para ahli, mengutip teori dari Paul Scholten dan J.A. Pontier. (aro)

Exit mobile version