Website Pemerintah Diretas karena Perkembangan Software Sangat Cepat

INDOPOSCO.ID – Peretasan website milik pemerintah oleh hacker termasuk situs milik Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya perkembangan software yang sangat cepat.
Pakar sistem informasi manajemen atau Information Technology (IT), Wing Wahyu Winarno, menjelaskan, secara teknis, website siapapun, termasuk Google dan Amazon, bisa dan pernah dihack.
“Ini terjadi karena perkembangan software yang sangat cepat. Dulu pakai bahasa pemrograman sederhana, sudah relatif aman, tapi setelah ada bahasa pemrograman baru, bisa membuka celah bahasa yang lama. Ibaratnya kita bikin pagar rumah cukup tinggi, orang luar tidak bisa masuk, ternyata ada drone, sehingga orang luar tetap dapat melihat isi pekarangan kita,” ujar Wing Wahyu Winarno, kepada Indoposco.id, Rabu (27/10/2021).
Baca Juga : Berkaca dari Situs AS, DPR Minta BSSN Perkuat Sistem Keamanan
Demikian juga dengan aplikasi, lanjut Wing Wahyu, akhirnya muncul tool yang bisa menjebol sistem. Sistem diperkuat, akhirnya dijebol lagi. Demikian seterusnya.
“Apa yang harus dilakukan? Pengelola website harus selalu meng-upgrade sistemnya, selain harus selalu memantau sistemnya secara terus-menerus. Ini yang seringkali diabaikan, apalagi di instansi pemerintah, karena akan dikomentari: lho, tahun lalu sudah beli aplikasi security, kok sekarang beli lagi? Padahal perkembangan ancaman bukan tahunan, tapi bulanan, bahkan harian,” kata Wing.
Lagi pula, kata Wing, barang yang dibeli adalah barang tidak berwujud, harganya mahal, sangat mudah untuk tidak disetujui.
“Apalagi kalau ditanya, apa outcome dari aplikasi ini. Sulit sekali dicari jawabnya. Tapi kalau rencana membangun 50 kakus untuk penduduk satu desa, lebih mudah, karena outcome-nya adalah berkurangnya masyarakat desa yang ke rumah sakit karena diare,” ujarnya.
Wing menegaskan, beberapa Undang-Undang (UU) yang ada, misalnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sudah mengatur tentang pembobolan sistem seperti ini, ancaman hukumannya pun cukup berat, Rp600 juta – Rp1 miliar.
“Tapi kalau hacker-nya dari luar negeri, susah menangkapnya,” katanya.
Wing mengungkapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) sudah masuk tahun keempat, tetapi belum juga disetujui oleh DPR.
“Mungkin terlalu banyak kepentingan atau malah terlalu banyak tuntutan, sehingga sampai hari ini belum ada kabar yang menggembirakan, kapan RUU PDP akan disahkan,” pungkasnya. (dam)