INDOPSCO.ID – Tahun 2013 menjadi penanda sejarah dalam dunia kedokteran Indonesia. Untuk pertama kalinya, seorang dokter perempuan ikut bergabung dalam tim bedah robotik kandungan. Sosok itu adalah dr. Sita Ayu Arumi, Sp.OG, yang namanya kini tercatat sebagai pionir perempuan di bidang robotic-assisted gynecologic surgery di Tanah Air.
Di ruang operasi Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Bunda Jakarta, Sita berdiri di balik konsol robotik canggih yang kala itu baru diperkenalkan di Indonesia setahun sebelumnya. Bersama dokter-dokter senior, ia menangani kasus-kasus kompleks seperti mioma multipel, kista perlengketan, hingga endometriosis berat.
“Robot bukan sekadar alat mewah. Ia hadir untuk mengurangi penderitaan pasien, mempercepat pemulihan, dan meningkatkan presisi,” ujarnya.
Hadirnya Sita dalam tim robotik bukan hanya soal keahlian medis. Lebih dari itu, ia menembus batas di dunia bedah berteknologi tinggi yang selama ini banyak dikuasai laki-laki. Di bidang ginekologi, permintaan pasien perempuan untuk ditangani dokter perempuan memang terus meningkat. Namun untuk operasi kompleks dengan robot, kehadiran dokter perempuan masih sangat langka.
Dengan bergabungnya Sita, persepsi itu perlahan berubah. Ia menjadi wajah representasi bahwa perempuan pun bisa berada di garis depan inovasi medis, bahkan dalam ranah teknologi yang membutuhkan keterampilan presisi tinggi.
Membuka Jalan Baru bagi Generasi Berikutnya
Langkah Sita menjadi bagian tim robotik membawa pesan penting bagi generasi dokter muda perempuan. Bahwa profesi medis modern, termasuk yang berbasis teknologi mutakhir, bukanlah ranah eksklusif. Dedikasi, ketekunan belajar, dan keberanian menghadapi tantangan adalah modal utama untuk melangkah sejauh apa pun.
“Kalau perempuan hanya diminta di rumah, nanti pasien wanita siapa yang tangani?” ucapnya.
Pernyataan itu menggambarkan pandangannya: perempuan tak boleh dibatasi ruang geraknya, apalagi dalam bidang kesehatan yang justru banyak bersentuhan dengan kebutuhan pasien perempuan.
Dalam perjalanan kariernya, Sita tak hanya menguasai teknik minimal invasif, tetapi juga membawa nama Indonesia sejajar dengan negara-negara yang lebih dulu mengadopsi teknologi robotik. Pengalaman belajarnya di Belanda pada 2012 menjadi bekal penting sebelum ia menorehkan jejak bersejarah setahun kemudian di Indonesia.
Kini, setelah lebih dari satu dekade, kiprahnya tetap menjadi kebanggaan. Ia bukan sekadar dokter spesialis kandungan, melainkan simbol keberanian perempuan Indonesia di tengah transformasi dunia medis.
Bagi Sita, setiap operasi bukan hanya tindakan medis, melainkan juga misi kemanusiaan. Melalui teknologi robotik, ia ingin memastikan pasien pulih lebih cepat, dengan rasa sakit minimal, dan kualitas hidup yang lebih baik. Dari sisi dokter, teknologi itu memberi ruang kerja yang lebih ergonomis dan akurat.
Kisah Sita adalah cermin bagaimana dedikasi dan keberanian perempuan bisa mencetak sejarah. Ia membuktikan bahwa inovasi medis di Indonesia tidak hanya digerakkan oleh teknologi, tetapi juga oleh sosok-sosok yang berani menembus batas tradisi.
“Kemerdekaan sejati adalah ketika perempuan bebas mengakses kesehatan tanpa batasan, tanpa takut dihakimi, tanpa harus bertahan dalam diam,” katanya.
Kalimat itu seolah menegaskan misinya: menjadikan peran perempuan bukan hanya sebagai penerima layanan, melainkan juga penggerak perubahan.(rmn)