INDOPOSCO.ID – Bagi banyak perempuan, kabar harus menjalani operasi ginekologi sering kali terdengar menakutkan. Bayangan sayatan besar di perut, pemulihan berbulan-bulan, hingga ancaman kehilangan rahim kerap menghantui. Namun kini, paradigma itu mulai bergeser.
Di tangan dr. Sita Ayu Arumi, Sp.OG (K), harapan baru muncul melalui pendekatan Minimal Invasive Gynecologic Surgery (MIGS) dan teknik bedah robotik. Metode ini memungkinkan pengangkatan miom, kista, hingga jaringan endometriosis tanpa harus mengorbankan rahim pasien.
“Banyak pasien datang dengan ketakutan bahwa operasi berarti kehilangan rahim. Padahal, lewat teknik minimal invasif, rahim bisa tetap dipertahankan. Harapan untuk menjadi ibu pun masih ada,” kata dr. Sita, dalam keterangannya, Jumat (17/10/2025).
Operasi konvensional ginekologi selama ini identik dengan sayatan besar sepanjang 10–15 cm. Risiko nyeri, pendarahan, hingga pemulihan lama membuat pasien enggan. Tak jarang, rahim pun diangkat dengan alasan “lebih aman”.
Padahal, menurut dr. Sita, rahim memiliki nilai emosional sekaligus biologis bagi perempuan.
“Sebagai perempuan, rahim adalah simbol harapan. Jika masih bisa dipertahankan, itulah yang kami perjuangkan,” ujarnya.
Dengan MIGS, sayatan hanya 0,5–1 centimeter (cm). Pasien bisa pulih dalam hitungan hari. Bahkan ada pasien yang tiga hari pascaoperasi sudah kembali bekerja ke luar negeri.
“Dulu operasi berarti absen lama. Sekarang paradigma itu berubah: operasi bisa cerdas, cepat, dan minim trauma,” tambahnya.
Kisah Pasien: dari Putus Asa Jadi Penuh Harapan
Salah satu pasien dr. Sita pernah divonis harus angkat rahim karena miom multipel.
“Dia datang dengan wajah sedih, karena belum punya anak,” kenangnya.
Lewat operasi robotik, miom berhasil diangkat tanpa harus mengorbankan rahim.
“Beberapa bulan setelah operasi, pasien itu datang lagi, kali ini dengan kabar gembira: ia hamil,” ujar Sita.
Kisah itu menjadi bukti bahwa teknologi bukan sekadar alat canggih, melainkan sarana mengembalikan harapan.
Robot yang Memanusiakan
Diceritakan dr. Sita, bedah robotik yang mulai dikembangkan di Indonesia pada 2012 memberikan presisi tinggi dengan sistem 3D visualization dan pivot point system. Alat ini meminimalkan gesekan pada dinding perut, sehingga nyeri jauh berkurang.
“Robot ini membuat kami bisa mengontrol gerakan sehalus tangan manusia. Bedanya, lebih presisi, lebih stabil, dan lebih ergonomis. Bahkan dalam kasus kompleks seperti endometriosis berat, kami bisa tetap mempertahankan rahim,” jelasnya.
Tak heran, pasien tak lagi memandang operasi sebagai vonis menakutkan, melainkan pilihan rasional untuk kembali sehat tanpa kehilangan identitas kewanitaannya.
Perempuan Pertama di Tim Robotik Indonesia
Nama dr. Sita sendiri tercatat dalam sejarah sebagai dokter perempuan pertama di tim robotik Indonesia pada 2013, saat teknologi ini baru diperkenalkan di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Bunda Jakarta.
Bersama dokter-dokter senior, ia menangani berbagai kasus sulit: miom multipel, kista perlengketan, hingga tumor endometriosis stadium lanjut.
“Bagi saya, ini bukan sekadar pencapaian pribadi. Saya ingin perempuan Indonesia tahu bahwa operasi ginekologi tidak selalu berarti kehilangan rahim,” ujar dr. Sita.
Tantangan: Teknologi yang Masih Mahal
Meski menjanjikan, teknologi robotik masih menghadapi kendala biaya. Mesin yang seluruhnya diimpor membuat tarif layanan melonjak.
“Bukan karena dokter atau rumah sakit ingin mematok harga tinggi. Alatnya memang sangat mahal,” ucap dr. Sita.
Ia berharap pemerintah bisa menyediakan fasilitas robotik di rumah sakit pemerintah.
“Minimal satu-dua unit di setiap provinsi. Supaya tidak hanya kalangan mampu yang bisa merasakan manfaatnya,” tambahnya.
Inovasi MIGS dan robotik bukan sekadar soal teknologi, tapi juga soal memberdayakan perempuan. Di banyak budaya Timur, perempuan sering diposisikan sebagai pihak yang salah ketika belum memiliki anak.
“Padahal, masalah kesuburan juga bisa dari laki-laki. Perempuan jangan lagi menanggung beban stigma sendirian,” ujar dr. Sita.
Dengan operasi minimal invasif, perempuan tak hanya sembuh lebih cepat, tapi juga bisa tetap mempertahankan peluang menjadi ibu. Inilah revolusi sunyi di ruang bedah: operasi yang dulu menakutkan, kini berubah menjadi tindakan yang penuh harapan.
“Bagi saya, kesehatan perempuan adalah jantung keluarga. Dan jantung itu harus dijaga, bukan diabaikan,” pungkas dr. Sita. (rmn)