Ekonomi

Perbankan Syariah Indonesia Tancap Gas, Tapi Tantangan Masih Menanti

INDOPOSCO.ID – Di tengah ketidakpastian ekonomi global, sektor perbankan syariah Indonesia justru menunjukkan performa yang kian solid. Pertumbuhan aset, pembiayaan, dan dana pihak ketiga (DPK) berhasil melaju lebih cepat dibandingkan perbankan konvensional. Bahkan, DPK perbankan syariah tetap berada di level double digit, sebuah pencapaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Namun, jika dicermati lebih dalam, wajah keuangan syariah Indonesia masih menyimpan keunikan. Meski perbankan syariah mencatat pertumbuhan menggembirakan, kontribusi terbesar terhadap total aset keuangan syariah nasional masih berasal dari pasar modal, khususnya penerbitan sukuk. Di posisi kedua, barulah perbankan syariah.

Menurut Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Sutan Emir Hidayat, kunci pertumbuhan perbankan syariah terletak pada satu hal, yakni permintaan sektor halal yang terus meningkat.

“Bank syariah hanya dapat membiayai sektor halal. Jika permintaan industri halal meningkat, maka pertumbuhan perbankan syariah dan keuangan syariah secara umum juga akan ikut terdorong,” ujar Emir dalam keterangannya, Senin (7/7/2025).

Tak hanya menyoroti sisi permintaan, Emir juga membahas rencana besar yang tengah digodok, yakni pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank induk dan potensi lahirnya bank syariah baru dari Muhammadiyah. Ini bukan sekadar langkah strategis, tapi bentuk konkret dari implementasi Undang-Undang Perbankan Syariah dan UU P2SK.

“Kehadiran Bank Umum Syariah baru akan menambah pilihan dan memperluas layanan bagi masyarakat,” jelasnya.

Meski dari sisi literasi ekonomi dan keuangan syariah Indonesia sudah berada di angka 43%, nyatanya inklusi keuangan syariah masih tertahan di kisaran 13%. Angka ini mencerminkan adanya jarak antara pemahaman dan akses nyata masyarakat terhadap layanan keuangan syariah. Solusinya? Transformasi digital.

“Digitalisasi akan memudahkan masyarakat yang sudah aware untuk terinklusi, dan menjadi peluang besar bagi industri keuangan syariah,” ungkapnya.

Langkah konkret pun mulai dijalankan. KNEKS telah menginisiasi Unit Layanan Keuangan Syariah (ULKS) di pesantren-pesantren dan daerah potensial. Layanan ini menjembatani kebutuhan masyarakat akan pembiayaan syariah, baik melalui pegadaian maupun fintech berbasis syariah.

Di luar aspek layanan dan akses, Emir menyoroti pentingnya investasi dalam sumber daya manusia. Sertifikasi dan pelatihan berstandar industri diyakini bisa memperkuat pondasi ekonomi syariah nasional. Terlebih lagi, menarik minat generasi muda seperti Gen Z adalah tantangan berikutnya.

“Inovasi produk menjadi kunci untuk menarik minat generasi muda, khususnya Gen Z, agar dapat merencanakan keuangan sesuai prinsip syariah,” tutur Emir.

Melihat ke luar negeri, Malaysia masih dianggap sebagai benchmark regional dalam pengembangan ekosistem keuangan syariah. Namun Emir percaya Indonesia punya kekuatan unik: sektor keuangan mikro, serta pengelolaan zakat dan wakaf yang sudah menjadi contoh global.

Dalam jangka panjang, integrasi antara industri halal dan keuangan syariah akan menjadi kunci menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia. Target besar pun telah dipasang, kontribusi aset keuangan syariah mencapai 51,42% dari PDB pada 2029, sesuai dengan arah pembangunan nasional dalam RPJMN.

“Industri halal harus didukung oleh keuangan syariah, agar kontribusi keuangan syariah terhadap PDB dapat meningkat,” tambahnya.

Dengan kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat, masa depan ekonomi dan keuangan syariah Indonesia tampak semakin menjanjikan. Tidak hanya dari sisi angka, tapi juga dari sisi dampaknya terhadap kesejahteraan umat dan ketahanan ekonomi nasional. (her)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button