INDOPOSCO.ID – Hampir semua sektor lini bisnis di era pandemi mengalami keterpurukan. Ada yang porak poranda tak mampu lagi bangkit tapi ada juga yang terus survive merangkak dan sampai saat ini mulai ada geliat kehidupannya. Salah satu sektor yang sangat terpukul ada pariwisata. Kena dampak paling awal namun recovery paling lama, dan membutuhkan efforts yang cukup tinggi, baik sisi financial sampai pembenahan infrastruktur, dan sumber daya manusianya.
Akan tetapi bagi yang jeli melihat peluang, sektor pariwisata tetap bisa bangkit. Sebut saja pariwisata di Cirebon yang sudah menunjukan geliat pertumbuhan lewat Okupansi hotel yang mulai full book sejak Oktober lalu.
“Oktober lalu tertinggi sejak ada PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Tapi kami masih terus melakukan koordinasi dengan satgas, setiap akan ada kegiatan pasti satgas mengetahui, dan kebijakan aturan keluar per tiap minggu. Kami berupaya kooperatif,” aku General Manager Hotel Aston, Niken Damayanti, belum lama ini.
Full book di era PPKM itu bukan berarti semua kamar terisi penuh. Ada banyak aturan dan pengeluaran tambahan yang harus dilakukan dalam mengoperasikan hotel pascapandemi. “Jumlah kapasitas 25 persen sudah agak menolong, karena itu kebijakan pemerintah. Kami juga sudah terima acara pernikahan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan,” ujarnya .
Dengan berbagai kreatifitas yang dilakukan, maka hotel pun tetap bisa survive, tidak sampai merumahkan karyawan atau keterlambatan pemberian upah. “Kami mencoba menjadikan pandemi ini sebagai momen untuk belajar, saling bahu membahu karena semua mengalami dampaknya. Semua karyawan mencoba serba bisa, melakukan pengeluaran se efisiensi mungkin. Karena belum tahu kondisi ini sampai kapan, kami tetap berbuat yang terbaik dan tetap waspada,” pungkas Niken.
Hal yang dialami pengusaha hotel, tidak beda jauh dengan pengusaha spa, perawatan kesehatan dan kecantikan. Usaha yang tak kalah terdampak juga dialami oleh Rama Shinta penyedia kebutuhan kecantikan berbahan dasar garam. Meski jumlah wisatawan sudah mengalami peningkatan ke daerah Kota dan Kabupaten Cirebon, tapi untuk produksi usaha kecantikan masih melambat.
“Kalau untuk permintaan lokal sebenarnya tetap ada. Yang memperparah ini ekspor yang belum bisa. Sementara selama ini kan kualitas ekspor kita itu lumayan tinggi,” terang Septi Ariyani, CEO Rama Shinta, produsen Garam Spa, kesehatan dan kecantikan.
Bahkan di awal awal pandemi, Septi mengakui permintaan mengalami peningkatan untuk garam sinus congestion. Karena dengan menggunakan garam sebagai media yang ditambahkan ke air mandi, bisa membuang racun dari dalam tubuh. Garam laut memang mengandung mineral dosis tinggi yang dapat merevitalisasi sel sel kulit. Garam juga menghidrasi kulit dan melindungi dari kusam, memulihkan iritasi serta membantu regenerasi kulit. Sifat anti-inflamasi garam membuat kulit menjadi sejuk.
“Selain untuk mandi, garam kumur juga mengalami permintaan di awal awal pandemi. Tapi ke sekarang sudah biasa saja. Sementara untuk produk lainnya, yang menjadi reseller kita ya ada saja sih satu dua,” akunya.
Seperti melakukan ekspansi dari petambak garam dan melakukan diversifikasi usaha dengan memproduksi garam untuk kecantikan sejak sepuluh tahun terakhir. Septi mengelola 20 hektar lahan produksi garam. Pada 2019 Septi masih berhasil panen sekitar 80 ton per hektar dengan memiliki petani binaan 50 orang. Memasuki pandemi, dan cuaca yang tidak bersahabat di 2020 dan 2021, lahan yang dikelola mengalami penurunan drastis.
“Selain dihantam pandemi, produksi 2020 dan 2021 ini diperparah oleh cuaca kemarau basah di Cirebon. Di tengah produksi hujan datang. Per hektar hanya dapat 20 ton, turun lagi di 2021 per ha hanya 5-7 ton,” keluhnya.
Selain hasil produksi yang mengalami persoalan, harga garam pun dianggap cukup mengecewakan. “Tahun ujian lah. Gak produksi 50 petani gak makan, ketika produksi kita merugi. Kami jual garam sempat 350 perak, buat produksi saja gak nutut,” pungkasnya. (ney)