INDOPOSCO.ID – Direktur Eksekutif Indonesia Relief Rescue (IRRES) Marwan Batubara mengatakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertindak sepihak dalam menentukan peraturan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia.
Menurutnya, ada kesan menganggap aspirasi dari publik terlebih khusus pakar, tidak penting. Padahal menurut Undang-Undang (UU) tentang pembentukan peraturan perundang-undangan nomor 12 tahun 2011, wajib dilibatkan apalagi pakar.
“Yang perlu diketahui publik tanpanya Kementrian ESDM itu bertindak sepihak. Terkesan bahwa mereka tidak menganggap penting aspirasi dari publik terutama pakar yang ada di kampus. Ada masukan kesannya tidak diperhatikan,” kata Marwan pada Diskusi dengan tema “Regulasi EBT, untuk Siapa?”, Sabtu (4/9/2021).
Ia mengaku telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan masukan tentang EBT. Sebab pihaknya menganggap Presiden ingin tahu lebih banyak tidak hanya dari salah satu pembuat peraturan.
Mengingat, diterbitkannya Perpres nomor 68 tahun 2021 yang mewajibkan semua lembaga berkirim surat kepada Presiden tentang draf yang akan diterbitkan.
“Jadi kita punya hak menyampaikan kepada Presiden dengan aturan yang diterbitkan Presiden sendiri,” ungkap Marwan.
Ia menyebutkan, yang disampaikan para pakar melalui surat kepada Presiden sangat relevan dan berkeadilan. Jauh berbeda dengan yang direncanakan ESDM. Atas kondisi itu, pihaknya menuding Kementerian ESDM memiliki muatan kepentingan bisnis.
“Sementara yang rencanakan oleh ESDM yang tidak mau mendengar masukan dari pakar ini, itu sesuatu kami menganggap lebih kepada kepentingan bisnis. Jadi motifnya bisnis berlindung dibalik EBT 23 persen, mitigasi perubahan iklim dan sebagainya,” jelas Marwan.
Di sisi lain, yang jadi masalah ada perubahan tarif yang tadinya 0,65 berbanding 1. Artinya 1 kw dibayar pelanggarn tarifnya Rp1.000, pelanggan mengekspor listrik ke jaringan PLN cuma 650 atau 65 persen. Kebijakan itu adil karena untuk terjadinya pengiriman ekspor impor perlu jaringan.
“Pakar mengatakan yang fair 56 persen, karena sudah terlanjur 65 persen oke itu saja yang dipertahankan, kita tidak akan menulis surat ke Presiden. Tapi kalau memaksanakan 100 persen ada kepentingan bisnis yang dominan,” pungkasnya. (son)