INDOPOSCO.ID – Di tengah dinamika politik yang terus bergerak, satu nama dari Tanah Rencong kembali mencuri sorotan. Ya, dia adalah Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem.
Figur ini, menurut analis komunikasi politik Hendri Satrio, bukan lagi sekadar pemimpin daerah, tetapi sosok yang sudah selayaknya diperhitungkan dalam deretan calon pemimpin nasional di masa mendatang.
Hendri menyatakan pandangannya dengan tegas, mengaitkan penilaian itu pada rekam jejak dan gaya kepemimpinan Mualem yang dinilai selalu hadir di tengah masyarakat, terutama ketika Aceh menghadapi bencana dalam beberapa waktu terakhir.
“Muzakir Manaf atau Mualem itu bisa jadi, sebenarnya sudah sepatutnya jadi pemimpin nasional, dia konsisten bersama masyarakat,” kata Hensa, sapaan Hendri Satrio- melalui gawai, Kamis (11/12/2025).
Ia menilai, latar belakang Mualem sebagai figur lapangan membuatnya memiliki kombinasi kualitas yang jarang dimiliki banyak pemimpin, yakni kedekatan dengan warga, kepekaan terhadap kebutuhan akar rumput, dan kemampuan menghadapi kompleksitas politik daerah.
“Karakter-karakter ini selaras dengan kebutuhan Indonesia terhadap sosok yang kuat namun tetap membumi,” imbuhnya.
Dalam pandangan Hensa, salah satu hal yang membedakan Mualem dari banyak pemimpin lain adalah kebiasaannya turun langsung ketika rakyat menghadapi situasi sulit.
“Mualem terbiasa hadir langsung ketika rakyat menghadapi kesulitan, memimpin di lapangan, dan tidak hanya mengandalkan laporan di atas meja. Pola kepemimpinan seperti ini penting untuk level nasional,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa gaya kepemimpinan Mualem di Aceh menunjukkan dirinya bukan hanya simbol politik. Mualem dinilai menjalankan peran representasi rakyat secara nyata, hadir bukan hanya pada momen seremonial, tetapi terutama saat warga membutuhkan negara berada di sisi mereka.
“Saya mengatakan bahwa sikap Mualem yang tidak meninggalkan rakyat ke mana pun itu menjadi pegangan penting dalam menilai dirinya sebagai pemimpin,” tutur Hensa.
Hensa mengaku sering melihat bagaimana Mualem berkeliling untuk mengecek kondisi warga, mendengar keluhan secara langsung, dan memastikan bantuan berjalan.
“Yang saya lihat, hampir setiap hari ia berkeliling melihat kondisi rakyatnya, mendengar keluhan, dan memastikan bantuan berjalan, bukan hanya sekali datang untuk pencitraan, konsistensi hadir di tengah rakyat inilah yang membuat saya menilai dia pantas jadi pemimpin nasional,” terang Hensa.
Dalam perspektif komunikasi politik, kedekatan pemimpin dengan warga menjadi faktor penting dalam membangun kepercayaan publik, sesuatu yang sulit dicapai hanya lewat kampanye atau pesan media. Dari kacamata pengalaman, Mualem juga dianggap memiliki modal kuat karena terbiasa memimpin Aceh, daerah dengan sejarah konflik, tantangan stabilitas, dan kebutuhan penanganan bencana yang kompleks.
“Mualem sudah ditempa oleh situasi-situasi sulit yang tidak dialami semua tokoh. Ia belajar memimpin di tengah tekanan, berdialog dengan berbagai kelompok, dan tetap menjaga kedekatan dengan masyarakat,” kata Hensa.
“Dan itu semua merupakan bekal penting bila suatu saat ia didorong naik ke tingkat kepemimpinan nasional,” sambungnya.
Kendati demikian, Hensa mengingatkan bahwa panggung politik nasional memiliki dinamika yang jauh lebih rumit. Tantangan terbesar bagi pemimpin daerah adalah menjaga karakter autentik kepemimpinan mereka di tengah arus politik elitis.
“Jika Mualem mampu menjaga prinsip tidak meninggalkan rakyat, tetap rutin turun ke lapangan, dan pada saat yang sama memperluas komunikasi politiknya secara cerdas, saya yakin ia akan menjadi salah satu figur yang diperhitungkan dalam peta kepemimpinan Indonesia,” tambahnya.
Di tengah perjalanan panjang Aceh dan dinamika Indonesia, pernyataan Hensa itu menjadi cerminan bahwa figur seperti Mualem mungkin saja memainkan peran lebih besar di masa depan, jika ia terus menjaga kedekatan dengan rakyat yang selama ini menjadi fondasi utamanya. (her)









