INDOPOSCO.ID – Pasien No 1. Terbitnya putusan Presiden Prabowo soal reformasi Polri ini mengingatkan saya pada Pasien No 1, pementasan teater Butet Kartaredjasa, pekan lalu. Ternyata Pasien No 1 yang dimaksud Butet adalah ”sakitnya hukum di Indonesia”.
Saat menonton di Taman Ismail Marzuki itu awalnya saya heran: tumben Butet tidak jadi pemeran utama. Ia hanya muncul sekelebatan: adegan saat ia mendaftar sebagai pasien. Ia datang pertama ke rumah sakit hari itu. Ia terdaftar sebagai pasien dengan nomor urut pertama.
Lalu Butet muncul lagi. Sekelebatan lagi. Hanya untuk protes: mengapa diabaikan. Mengapa pasien yang datang belakangan yang dilayani. Bahkan Butet, oleh dokter, justru disuruh bersih-bersih toilet.
Adegan-adegan berikutnya didominasi Cak Lontong dan pasangannya: Akbar. Lucunya bukan main. Penonton terus tertawa. Tidak habis-habisnya. Kadar lucunya tidak menurun sampai pun sudah hampir 3,5 jam. Cak Lontong sendiri memerankan dokter kepala rumah sakit.
Di sela-sela itu Butet muncul lagi. Beberapa kali. Juga sekelebatan. Hanya untuk menagih: mengapa belum juga dilayani. Pasien-pasien lain, yang sakitnya biasa-biasa saja, sudah diperiksa –antara lain karena menyogok.
Di dunia nyata Butet sudah sangat sehat. “Saya sudah tidak pakai tongkat,” katanya di sambutan sebelum pementasan. Asu! Ia bisa sembuh. Padahal sakitnya begitu gawat. Begitu lama.
Di akhir cerita, ketika penonton sudah lelah tertawa selama 3,5 jam, Butet muncul memberi klimaks. Ia jadi monolog tulen yang menjadi keunggulannya. Di situlah penonton baru jelas apa yang dimaksud judul teater itu: Pasien No 1.
Dengan pembentukan tim reformasi Polri, ”Dokter Prabowo” mulai menangani pasien nomor satu Indonesia: bidang hukum.
Yang mengejutkan: ketuanya bukan Prof Mahfud MD seperti terdengar nyaring selama ini. Yang ditunjuk sebagai ketua adalah Prof Dr Jimly Asshiddiqie. Tapi Prof Mahfud tetap masuk tim: sebagai salah satu dari 10 anggota.
Saya juga kaget tapi bukan kecewa. Itu baik-baik saja. Sangat baik. Rupanya Presiden Prabowo memilih jalan yang lebih tenang: Prof Jimly tidak terasosiasi dengan kekuatan politik mana pun. Sedang Prof Mahfud, Anda sudah tahu, mantan cawapres dari PDI-Perjuangan.
Cara Prof Jimly berkomunikasi juga terlihat lebih ”dingin” dinginnya es batu: keras. Anda masih ingat saat Prof Jimly jadi ketua dewan etik yang mengadili ketua Mahkamah Konstitusi: Anwar Usman. Putusannya begitu independen. Ia tidak terpengaruh oleh kekuatan penguasa yang sangat berkuasa saat itu.
”Jalan tenang” lainnya bisa dilihat siapa saja anggota tim itu: ada tiga mantan kapolri. Masih ditambah kapolri yang menjabat sekarang. Ini sekaligus untuk mengakomodasikan niat dari dalam Polri: bahwa Polri sendiri sudah membentuk tim reformasi.
Lalu masih ada mantan petinggi Polri seperti Ahmad Dhofiri yang sejak lama ingin mereformasi institusinya sendiri.
”Jalan tenang” ini mungkin tidak memuaskan kelompok yang menginginkan perombakan Polri sangat radikal. Tapi Jenderal Prabowo lebih berhitung strategis. Ribut-ribut yang mungkin timbul akibat reformasi radikal akan bisa mengguncang stabilitas. Itu tidak menguntungkan.
Yang penting rambut berhasil ditarik dari dalam tepung tanpa tepungnya berserakan. Presiden SBY sejak menjabat kassospol TNI berhasil melaksanakan reformasi TNI dengan sangat mulus.
Padahal sebelum itu TNI menguasai hampir seluruh bidang kehidupan: di jabatan-jabatan pemerintahan, di BUMN, di perpolitikan.
Hebatnya TNI bisa menerima reformasi itu dengan sangat lapang dada –sebagai keharusan sejarah. Padahal TNI punya segala-segalanya untuk menggagalkan reformasi itu. Terutama punya senjata. Tapi TNI pilih menyelamatkan bangsa ini: agar Indonesia bisa menjadi negara sejahtera dan maju.
Tapi setelah 25 tahun TNI kembali ke barak, Anda bisa melihat sendiri apa yang terjadi. ”Pengorbanan” besar TNI itu belum membawa Indonesia seperti yang diinginkan reformasi. Indonesia masih menjadi pasien. Sudah 25 tahun menjadi pasien. Di beberapa bidang justru kian parah.
Kini ”dokter Prabowo” menangani pasien itu. Prof Jimly sudah mencanangkan target: dalam tiga bulan sudah bisa melaporkan hasilnya kepada Presiden.
Maka Butet jangan dulu keburu bikin teater dengan judul ”Pasien No 2”. Biarlah Pasien No 1 sembuh dulu karena bisa saja saat penyakit itu ditangani justru terjadi komplikasi. (Dahlan Iskan)








