INDPOSCO.ID – Sebagaimana diketahui, sejak zaman penjajahan, pemerintah Hindia-Belanda telah menggolong-golongkan masyarakat atas dasar etnis, yaitu: etnis Eropa, etnis Timur Asing (Tionghoa, Arab, India, dsb), dan Orang Pribumi.
Dalam perkembangannya, penggolongan diteruskan dalam bidang administrasi kependudukan atau catatan sipil – lihat Akta Kelahiran Anda: golongan Eropa – Staatblaad 1849; golongan Tionghoa – Staatblaad 1917; golongan Indonesia Non Kristen – Staatblaad 1920; dan golongan Indonesia Kristen – Staatblaad 1933.
Disadari bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan segenap warga masyarakat dari berbagai latar belakang suku bangsa, agama, ras, maupun antar golongan. Dan sebagaimana Penjelasan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan yang pertama kali yaitu Nomor 3 tahun 1946 menegaskan bahwa pada dasarnya peraturan kewarganegaraan Indonesia tidak didasarkan kepada ras criterium.
Ada empat orang tokoh peranakan Tionghoa yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan satu orang dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yaitu:
1. Oei Tjong Hauw (BPUPKI);
2. Oei Tiang Tjoei (BPUPKI);
3. Liem Koen Hian (BPUPKI);
4. Tan Eng Hoa (BPUPKI); dan
5. Yap Tjwan Bing (PPKI).
Di awal kemerdekaan Indonesia sampai berakhirnya pemerintahan Bung Karno, ada enam orang tokoh Tionghoa yang duduk dalam pemerintahan. Mereka adalah: Ong Eng Die; Mohammad Hasan; Oei Tjoe Tat; David Chen Chung; Lie Kiat Teng (Mohammad Ali); Tan Po Gwan;
Peran politik warga Tionghoa bukan hanya dalam kabinet, namun dalam diplomatik politis, terdapat nama seperti: Dr Tjoa Siek In, yang ditunjuk pemerintah Indonesia dalam perundingan Renville.
Begitu pula Dr Sim Kie Ay yang oleh pemerintah ditunjuk sebagai anggota delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil dari KMB adalah dibentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada masa Demokrasi Parlementer, tahun 1950 – 1959, minimal ada delapan orang peranakan Tionghoa menjadi anggota legislatif, yaitu: Tan Po Gwan, Tjoa Sie Hwie, Tjung Tin Jan, Tan Boen Aan, Teng Tjin Leng, Siauw Giok Tjhan, Tjoeng Lin Sen (diganti Tio Kang Soen), dan Yap Tjwan Bing (diganti Tony Wen atau Boen Kim To).
Seiring berjalannya waktu, tahun 1950 pemerintah RI membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah RRT, dan mulai mengadakan pembicaraan mengenai masalah dwi-kewarganegaraan RI-RRC. Hal ini disebabkan karena UU kewarganegaraan RRT menerapkan asas ius sanguinis, sementara UU kewarganegaraan RI menerapkan asas ius soli, sehingga terjadi kewarganegaraan ganda bagi sebagian warga Tionghoa di Indonesia. Artinya secara hubungan darah sebagai warga negara RRT, namun dari sisi kelahiran sebagai WNI.
Nota perjanjian ditanda-tangani oleh Menteri Luar Negeri RI Sunario dan Menteri Luar Negeri RRT Chou En-Lai, di Bandung, tanggal 22 April 1955. Sementara itu, pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan itu dimulai tanggal 20-1-1960 s/d 20-1-1962.
Namun, ‘bencana kewarganegaraan’ bagi etnis Tionghoa mulai muncul ketika terbit Peraturan Presiden (PerPres) Nomor 10 tahun 1959 tanggal 16 Nopember 1959 atau dua bulan menjelang berlakunya pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan RI-RRT. PerPres itu berisi larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibukota daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan.
Yang dimaksud dengan “perusahaan perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing” adalah yang tidak dimiliki oleh warga negara Indonesia. Namun yang terjadi di lapangan adalah, hampir semua etnis Tionghoa diusir dari wilayah desa maupun kecamatan untuk menuju daerah swatantra tingkat I dan II. Dan pada saat perjanjian dwi-kewarganegaraan dilaksanakan (Januari 1960 – Januari 1962), kemudian mereka diberikan dokumen Exit Permit Only untuk meninggalkan Indonesia.
Berhubung kondisi politik dan perekonomian pemerintah RRT ketika itu juga sedang morat-marit dan kecurigaan terhadap para perantau (avonturir), maka tidak semua pemegang exit permit only dapat pulang ke negeri leluhur karena konon pemerintah RRT hanya mengirim dua kapal. Dan dari waktu ke waktu, exit permit only ini dikonversi menjadi dokumen asing seperti Surat Pendaftaran (SP), Surat Tanda Pelaporan (STP), Pendaftaran Orang Asing (POA), Keterangan Izin Menetap Sementara (KIMS), dan lain-lain.
Dalam tahun-tahun berikutnya, dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk. Yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Kehakiman Nomor J.B.3/4/12 tahun 1978 yang menyatakan bahwa “untuk lalu lintas sehari-hari diperlukan SBKRI dalam bentuk yang ringkas, jelas, dan mudah dikenal oleh umum”, maka ada ‘kewajiban’ bagi warga peranakan Tionghoa untuk memiliki SBKRI. (Ini nih ….. cikal bakal munculnya persyaratan SBKRI).
Peraturan Menteri Kehakiman tersebut ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan Surat Edaran Menkeh Nomor JHB.3/31/3 tahun 1978 kepada semua Pengadilan Negeri maupun kepala perwakilan RI di luar negeri. Intinya adalah “mewajibkan” para peranakan untuk memiliki SBKRI, dan dalam praktik hanya peranakan Tionghoa. Fenomena ini menjadi ‘malapetaka’ yang berkepanjangan.
‘Bencana’ masalah kewarganegaraan inilah yang hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun menjadi ‘malapetaka’ sampai hari ini. Kenapa ?
Karena para pemukim pemegang EPO beserta keturunannya dianggap menjadi asing walaupun secara turun-temurun mereka lahir di Indonesia.
Lalu bagaimana penyelesaiannya ?
Lie Siong Tay dan Njoo Han Siang pada akhir tahun 1960-an/awal 1970-an menciptakan sarana komunikasi (semacam Informal Kong Khee) dan melakukan pendekatan kepada pihak pemerintah agar ada “kanal” untuk mencairkan “ketakutan” yang dialami warga Tionghoa itu.
Dalam perkembangannya, kedua tokoh ini mengajak Liem Sioe Liong, William Soeryadjaya, yang agak muda seperti Harry Tjan Silalahi, maupun yang lebih muda lagi seperti Anthony Salim, Prayogo Pangestu, dan lain-lain, mendesak pemerintah untuk ada penyelesaian status kewarganegaraan ini.
Desakan demi desakan akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah menerbitkan kebijakan-kebijakan, yaitu:
 Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980, menyelesaikan +/- 500.000 pemohon di lima wilayah: Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Bagian Selatan, Riau, dan Jabotabek.
 Penyelesaian Imigran Gelap dan pemberian SBKRI Susulan khusus di Propinsi Kalimantan Barat, tahun 1992;
 Dibentuknya Tim Asistensi Tim Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Pemukim China (TP4C), sebagai kebijakan naturalisasi yang dipermudah, menyelesaikan +/- 180.000 pemohon. Pengurus yang masuk dalam Tim Asistensi TP4C, antara lain Penasehat: Prof Dr Juwono Sudarsono, Pembina: Soedono Salin (Liem Sioe Liong), Susanta Lyman (Lie Siong Tay), Sudwikatmono, Prajogo Pangestu, Anthony Salim; Harry Tjan Silalahi, dll, dengan Ketua Pelaksana: Osbert Lyman, dibantu Indradi Kusuma, Prasetyadji, dan sebagainya.
Kepedulian dari para tokoh senior ini cukup konsisten yang diteruskan yuniornya, seperti Murdaya Poo, Osbert Lyman, Anthoni Salim, Franciscus Welirang, dan beberapa anggota DPR, seperti Drs KH Slamet Effendy Yusuf, Msc, Dr Benny K Harman, Drs KH Syaifullah Maksum, Drs KH Lukman Hakim Saifuddin, Drs Oka Mahendra, dan segenap masyarakat yang berupaya mengangkat kembali draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kewarganegaraan yang sempat masuk kotak (mandeg) di DPR menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006, serta mendirikan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) untuk mengawal implementasi pelaksanaan di lapangan.
Kenyataan sejarah inilah perlu diketahui bersama, bahwa penyelesaian masalah kewarganegaraan (termasuk masalah SBKRI) tidak terlepas dari peran para tokoh kemanusiaan dan partisipasi dari masyarakat.
Sebagaimana diketahui juga, ketika Presiden Jiang Zemin – Presiden Republik Rakyat Tiongkok berkunjung ke Jakarta pada bulan Nopember 1994 dalam rangka menghadiri Pertemuan Asia Pacific Economy Conference, telah menerima kunjungan Lie Siong Tay. Pada pertemuan itu Presiden Jiang Zemin berkata kepada Lie: “Anda telah banyak melakukan kebaikan di sini, atas nama Negara saya mengucapkan terima kasih; Anda telah banyak melakukan kebaikan di Tiongkok, saya pribadi mengucapkan terima kasih”.
Pemerintah Republik Indonesia, seharusnya dengan gentlement dan tulus mau meneladani sikap terbuka dan dengan penuh kejujuran sebagaimana dinyatakan Presiden Jiang Zemin, yang mengakui dan menghargai apa yang telah dirintis dan diperjuangkan oleh para tokoh-tokoh kemanusiaan ini. Semoga. (srv)
*Pemerhati masalah Tionghoa di Indonesia; Peneliti Senior pada Yayasan Insitut Kewarganegaraan Indonesia (Yayasan IKI), dan tinggal di Jakarta.
 
 
			 
			 
 
					








